Polemik PKS dan Koalisi Prabowo, dari Status ‘Musuh Bersama’ Hingga Dilema Pragmatisme

PKS adalah satu dari dua "partai besar" yang belum menentukan sikap terkait pemerintahan Prabowo Subianto. | AFP

Sepanjang sejarahnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah memoderasi ideologi partai untuk mengakomodasi kepentingan politik mereka, kata seorang pakar. Lantas, apa yang didahulukan PKS saat menimbang posisi mereka terhadap pemerintahan Prabowo? Ideologi atau pragmatisme?

Setelah Pilpres 2024, dua partai yang tadinya berkompetisi melawan Prabowo Subianto, Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kini telah merapat ke barisan pendukung presiden terpilih tersebut.

Saat ini tersisa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang belum menyatakan sikap mereka: bergabung atau berada di luar pemerintahan Prabowo.

PKS memiliki hubungan erat dengan Prabowo karena pernah mengusung sang mantan jenderal itu pada Pilres 2014 dan 2019.

Namun probabilitas PKS untuk bergabung ke koalisi Prabowo kali ini diperkirakan bakal terganjal sejumlah hal. Antara lain, karena sejumlah elite partai politik menganggap mereka sebagai musuh bersama, kata pakar politik.

Seperti apa peluang PKS bergabung dengan Prabowo? Apa keuntungan dan kerugian mereka jika berada di dalam atau luar pemerintahan selama lima tahun ke depan?

Read More
Potret Prabowo Subianto dan petinggi PKS pada Pilpres 2014, Anis Matta. Anis kini memimpin Partai Gelora yang secara terbuka menolak PKS bergabung ke koalisi Prabowo | AFP

Ditolak Partai Gelora

Wacana PKS bergabung ke koalisi Prabowo belakangan ini berfokus pada penolakan Partai Gelombang Rakyat (Gelora). Partai ini dibentuk sejumlah mantan petinggi PKS seperti Anis Matta, Fahri Hamzah, dan Mahfudz Siddiq.

Baru pertama kali berkompetisi di Pemilu 2024, Gelora hanya meraih 1,2 juta atau 0,84% suara di tingkat nasional. Mereka gagal meloloskan kader ke DPR.

Meski tak akan berperan apa pun di DPR selama lima tahun ke depan, Gelora menyebut akan tetap berada di koalisi pemerintahan Prabowo. Sebelum Pilpres bergulir, mereka juga sudah menyatakan dukungan untuk mantan jenderal itu.

Konsistensi sikap partai itu kini menjadi basis Gelora menolak PKS untuk menjadi bagian dari pengusung pemerintahan Prabowo.

Fahri Hamzah, pimpinan Gelora, menuding mantan partainya itu bahkan pernah membuat narasi negatif tentang Prabowo.

“PKS harus mengevaluasi diri, kenapa dulu saat Prabowo menawarkan untuk bergabung, mereka menolak,” kata Fahri.

“PKS bilang ada perbedaan substantif, yaitu ‘kami bersama umat’. Itu membuat Prabowo kaget. Prabowo dianggap bukan umat atau tidak membawa aspirasi umat,” tuturnya.

“Kalau tidak ada perbedaan, mengapa kemarin saling bertarung? Yang kalah di pilpres harus melakukan konsolidasi untuk mengawasi pemerintahan. Jangan seolah-olah kemarin tidak ada apa-apa,” ujar Fahri.

Perbedaan sikap di internal PKS

Penolakan Gelora terhadap PKS muncul dalam berbagai forum publik. Mardani Ali Sera, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PKS, merespons beragam pernyataan itu dengan menyindir kegagalan Gelora di Pemilihan Legislatif 2024.

Respons Mardani itu muncul dalam sebuah video yang dia unggah ke media sosialnya. Di video itu, Mardani tampil bersama istrinya yang juga kader PKS, Siti Oniah.

“Saya dengar di berita, ada yang menolak PKS untuk bergabung ke koalisi. Aduh, terima kasih. Itu partai apa, tidak lulus PT (parliamentary threshold/ambang batas parlemen),” kata Siti Oniah.

“Takut disaingi ya? Nol koma sekian loh,” ujarnya.

Di Pileg 2024, perolehan suara Gelora adalah 0,8% dari total suara nasional. Ambang batas untuk masuk ke DPR adalah 4% suara nasional.



https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMN3MrAww6sy4BA?

Related posts