Internalisasi Semangat Moderasi dalam Era Keliaran Teknologi Melalui Penguatan Literasi

Internalisasi Semangat Moderasi dalam Era Keliaran Teknologi Melalui Penguatan Literasi (Gambar Ilustrasi)

Internalisasi Semangat Moderasi dalam Era Keliaran Teknologi Melalui Penguatan Literasi

Oleh: Viqhi Aswie (Guru di Lingkungan MAN 1 Kota Sukabumi)

 

Viqhi Aswie (Guru di Lingkungan MAN 1 Kota Sukabumi)

Teknologi telah mengubah lanskap pendidikan secara signifikan. Badan Pusat Statistika mengeluarkan data bahwasanya 59,33% anak-anak di bangku sekolah merupakan pengguna internet aktif. Kontribusi penggunaan tersebut paling besar diperuntukkan untuk mencari informasi.

Hal ini sesuai dengan laporan Indonesia Gen Z Report 2024 oleh IDN Research Institute dan Advisia, 73% dari para pelajar menggunakan media sosial sebagai sumber utama mencari informasi. Hal ini tentu menjadi peluang yang sangat gemilang bagi generasi masa depan Indonesia.

Meskipun teknologi membuka pintu menuju pengetahuan yang lebih luas, itu juga membawa tantangan. Salah satunya adalah lonjakan berita palsu atau hoax. Berita palsu ini dengan cepat menyebar melalui media sosial dan situs web.

Pelajar, sebagai konsumen utama informasi, sering kali menjadi korban karena kurangnya keterampilan dalam memverifikasi kebenaran informasi. Ditambah lagi, saat ini Indonesia berada pada Era Post-Thruth. Era yang ditandai dengan kepercayaan publik tidak didukung melalui fakta-fakta objektif melainkan emosi ataupun keyakinan pribadi saja. Sehingga berita yang bias, acap kali menjadi sumber perpecahayan di kalangan pelajar Indonesia.

Read More

Maraknya berita hoax di media sosial telah memberikan kontribusi signifikan sikap intoleransi di kalangan pelajar. Kurangnya literasi digital dan ketidakpedulian terhadap kebenaran informasipun menjadi faktor utama yang memperburuk masalah ini. Bahkan SETARA Institute menemukan pada tahun 2023 terdapat hampir 30% pelajar berada pada kelompok intoleran dan 56% menyetujui untuk menjadikan syariat islam sebagai landasan negara. Padahal ini bertentangan dengan kebhinekaan bangsa Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena para pelajar terlalu banyak memperoleh disinformasi.

Fenomena yang meresahkan ini, telah mendorong Kementerian Agama untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai habitus dalam menguatkan sikap toleransi dan membangun pelajar-pelajar yang moderat melalui penanaman sikap moderasi beragama. Kementerian agama memandang bahwa sikap ini akan mampu menjadi bekal bagi para pelajar dalam menangkal arus negatif dalam ruang digital. Moderasi beragama adalah sikap yang menempatkan diri pada posisi tengah dalam praktik beragama, tanpa melampaui batas, dalam praktik beragama, dengan tidak mengadopsi ekstremisme.

Sikap ini mencerminkan konsep toleransi terhadap perbedaan keyakinan. Nilai-nilai moderasi inipun pada realitasnya diajarkan oleh semua agama karena merujuk pada keadilan dan keseimbangan. Oleh karena itu, Lembaga pendidikan seharusnya menguatkan nilai-nilai ini kepada para pelajar.

Atas dasar itulah, perlu strategi yang masif dalam menguatkan sikap moderasi beragama kepada para pelajar melalui penguatan literasi. Orientasinyapun harus dilandasi dengan pembentukan karakter yang religius dan humanis agar terbentuknya pelajar yang toleran. Sehingga, skema penguatan literasipun dapat dilakukan melalui berbagai cara dengan mengklasifikasikan upaya-upaya ke dalam 3 tahapan:

Tahapan pembiasaan

Perlu menjadi fokus utama kegiatan kesiswaan di sekolah. Pendekatan inklusif dalam penguatan literasi sangat penting, dengan mengedepankan praktik pemanfaatan ruang digital dengan mendorong pencarian informasi-informasi yang bersumber dari kanal terpercaya. Kegiatan juga harus menghindari diskriminasi SARAPEK (suku, agama, ras, antargolongan, politik, erotis, dan kekerasan), serta meningkatkan pemahaman tentang penggunaan media sosial yang bertanggung jawab.

Tahapan pengembangan

Dapat melibatkan komunitas moderasi yang dibentuk oleh sekolah, sejalan dengan himbauan Kementerian Agama untuk membentuk Rumah Moderasi. Hal ini perlu dilakukan pada setiap tingkatan pendidikan dan dapat bekerja sama dengan organisasi siswa seperti OSIS dan Rohis, serta masyarakat sebagai agent of social control. Komunitas ini bertugas sebagai garda terdepan dalam menangkal pemahaman ekslusif dan penyebaran berita palsu.

Tahapan Pembelajaran

Dimulai dengan memperkuat literasi digital guru melalui metode pengajaran inovatif dan workshop dalam mengintegrasikan literasi digital ke dalam pelajaran. Realitanya, upaya ini sudah didukung oleh pemerintah melalui program Sekolah Penggerak dan Bimbingan Teknis Tindak Lanjut AKMI. Sehingga, kepala sekolah bertanggung jawab untuk mengontrol implementasinya di ruang kelas. Guru juga perlu menerapan metode pembelajaran yang melibatkan analisis studi kasus tentang disinformasi yang diperoleh pada ruang digital dan upaya penyelesaiannya. Pada akhir pembelajaran, pelajar dapat melakukan evaluasi diri tentang nilai-nilai moderasi beragama yang telah dilaksanakannya serta merencanakan perbaikan.



https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMN3MrAww6sy4BA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *