Banjir di kawasan pantai utara Jawa, khususnya Demak, menjadi fokus penanggulangan bencana pemerintah beberapa minggu terakhir. Banjir sempat merendam 11 kecamatan sampai-sampai menimbulkan isu munculnya selat Muria—yang sempat memisahkan kawasan gunung Muria dan Jepara dengan Pulau Jawa.
Banjir di Demak disebabkan hujan ekstrem yang merusak tanggul hingga penurunan permukaan tanah sehingga air laut (rob) masuk ke permukiman. Perubahan iklim akibat ulah manusia yang menyebabkan cuaca ekstrem dan kenaikan permukaan laut juga turut memperparah dampak banjir.
Melalui artikel ini, kami menyoroti bagaimana keluarga nelayan skala kecil yang terdampak banjir hampir setiap tahun beradaptasi untuk mempertahankan ruang hidup dan pendapatan mereka. Tulisan ini berdasarkan temuan riset kami yang mendapati bahwa keluarga nelayan di Demak melakukan sejumlah langkah adaptasi, mulai dari meninggikan rumah setiap tahun hingga berpindah sementara untuk menumpang hidup dengan kerabat di luar Demak.
Praktik umum menghadapi banjir
Penelitian kami menemukan bahwa peninggian rumah adalah praktik adaptasi yang umum digunakan keluarga nelayan pesisir Demak untuk menghadapi banjir. Studi ini berbasiskan observasi lapangan dan diskusi terpumpun di Desa Morodemak dan Purworejo, Demak.
Warga meninggikan rumah dengan cara mengurug lantai dasar dengan tanah atau pasir. Setelah itu, mereka membuat lantai baru dengan ketinggian tertentu. Ketika lantai dasar masih memungkinkan untuk dihuni, meskipun saat memasuki rumah perlu membungkuk, maka mereka masih bisa beraktivitas di lantai tersebut.
Namun, jika ketinggian air yang memasuki rumah semakin tinggi dari tahun ke tahun, pengurugan untuk menambah ketinggian rumah bisa mencapai tiga hingga empat meter—seolah-olah mereka telah membuat lantai dua.
Selain meninggikan rumah, banyak pula penduduk yang membangun tanggul sederhana di sepanjang batas rumah mereka. Hal ini berguna untuk mencegah air masuk ke rumah.
Strategi adaptasi ini memang menekankan tanggapan warga terhadap ancaman genangan pesisir yang semakin meningkat akibat kenaikan permukaan air laut. Ini menyoroti pendekatan proaktif yang diambil oleh unit keluarga untuk mengurangi potensi risiko rob.
Walau begitu, upaya peninggian rumah ataupun pembuatan tanggul memaksa nelayan mengeluarkan dana lebih. Padahal, di tengah risiko pencarian ikan dan cuaca ekstrem, pendapatan nelayan semakin tidak menentu.
Strategi-strategi adaptasi memang dimulai dari hal-hal yang bisa dikontrol dan dikerjakan oleh tiap keluarga, seperti meninggikan rumah, pembangunan tanggul di sekitar pemukiman, dan pemindahan barang-barang penting ke tempat yang lebih tinggi. Tanggapan awal tersebut dirancang untuk mengurangi risiko langsung yang terkait dengan peristiwa rob.
Namun hal tersebut memiliki konsekuensi penurunan kualitas hidup apabila dilakukan setiap tahun tanpa ada solusi lain.
Peninggian rumah dan pembuatan tanggul akan menjadi never ending story karena selalu berulang setiap tahun dan membutuhkan biaya yang sangat besar.
Hal ini tentu saja meningkatkan kerentanan dan memberatkan keluarga nelayan. Mereka tidak bisa mengalokasikan penghasilan untuk hal yang lebih penting seperti memperbarui alat tangkap hingga membiayai kuliah anak.
Migrasi sementara dan permanen
Pertimbangan lingkungan, ekonomi, sosial, dan infrastruktur berperan penting dalam proses pengambilan keputusan keluarga nelayan skala kecil dalam menanggapi kenaikan permukaan laut dan kejadian banjir.
Awalnya, keluarga cenderung menerapkan strategi adaptif seperti meninggikan rumah sebelum mempertimbangkan opsi migrasi permanen. Selama kejadian banjir, mereka juga sering berpindah sementara untuk mencari perlindungan dari rob.