sukabumiNews, JAKARTA – Bencana yang terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh memantik diskusi soal penyebab bencana beruntun di wilayah tersebut. Cuaca ekstrem dan deforestasi yang terjadi secara masif menjadi kombinasi yang menyebabkan badai di Sumatra.
Sumatra tengah berduka. Hujan deras yang terjadi selama beberapa hari terakhir, menyebabkan banjir dan longsor di puluhan kabubaten dan kota di Sumut, Sumbar, dan Aceh. Puluhan ribu warga terdampak dan puluan lainnya dilaporkan meninggal dunia.
Terkait bencana di Sumatra ini, Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas) merilis, hingga Jumat (28/11/2025), sebanyak 105 orang meninggal dunia.
Jumlah ini dengan rincian di Sumut tercatat 83 orang meninggal dan 81 orang masih dalam pencarian. Korban meninggal terbanyak ada di Tapanuli Tengah, yaitu 34 orang, sedangkan di Sibolga 30 orang. Sebanyak 677 orang berhasil dievakuasi.
Catatan di Sumbar menyebutkan 22 orang meninggal dan 12 orang masih dicari. Data Kantor SAR Padang menyebutkan, korban meninggal terbanyak ada di Agam, yaitu 10 orang. Total warga yang dievakuasi mencapai 29.152 orang.
Di Aceh, korban meninggal dan hilang masih didata. Menurut data SAR Banda Aceh, sebanyak 645 orang sudah dievakuasi. Pengusi terbanyak ada di Aceh Utara, yaitu 3.507 orang, dan Aceh Timur 2.456 orang.
Bencana di Sumtra menarik perhatian luas warganet. Tagar #PrayForSumatra pun menggema di media sosial. Di tengah suasana duka ini, pubik bertanya-tanya apa sebenarnya penyebab banjir bandang dan longsor di sejumlah daerah Sumatra ini?
Siklon Senyar
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menuturkan, hujan deras yang menyebabkan banjir besar dan longsor di banyak wilayah tersebut disebabkan Siklon Senyar.
Peneliti dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Erma Yulihastin mengatakan Siklon Senyar adalah faktor alam yang sangat berpengaruh menyebabkan hujan ekstrem di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh, yang memicu beragam bencana.
Erma menuturkan, siklon ini memicu pembentukan Meso-scale Convective Complex atau kumpulan klaster awan hujan masif yang mengakibatkan hujan berkelanjutan serta angin kencang. Ini terlihat dari catatan curah hujan harian yang tinggi di pesisir barat Sumatra pada 23-24 November lalu.
BACA Juga: Banjir dan Longsor Landa 5 Kecamatan di Cianjur, Akses Tiga Desa Terputus Total
Siklon Senyar disebut sebagai faktor penting yang menyebabkan rangkaian bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar. Namun sejumlah pengamat dan pegiat lingkungan menyebut pembangunan dan penebangan hutan yang masif ikut memperparah efek hujan ekstrem dan angin kencang.
Dalam tayangan yang tersebar di media sosial, terlihat kayu-kayu gelondongan ikut terseret banjir. Warganet pun mengaitkan hal tersebut dengan hilangnya hutan di Sumatra sebagai pendukung terjadinya banjir dan tanah longsor di wilayah Sumatra belakangan ini.
Menurut data Global Forest Watch (GFW), pada periode 2001-2024 Aceh kehilangan 860 ribu tutupan pohon, atau setara dengan 17 persen dari wilayah tutupan pohon pada tahun 2000.
Masih merujuk data GFW, Dari 2001 sampai 2024, Sumut kehilangan 1,6 juta tutupan pohon atau setara 28 persen dari total luas tutupan pohon pada 2000. Angkanya jomplang dengan tutupan pohon yang diperoleh pada 2000-2020, yaitu 390 ribu ha. Hal serupa juga terjadi di Sumbar. Mereka kehilangan 740.000 ha tutupan pohon di periode 2001-2024, setara 19 persen dari total tutupan pohon pada 2000.
Berharap Kebijakan Pro Lingkungan
Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumatra Utara Jaka Damanik menyoroti aktivitas industri ekstraktif sebagai penyebab masifnya dampak hujan deras kali ini.
Jaka menyebut ekosistem Batang Toru yang merupakan bagian hutan tropis yang membentang dari Tapanuli Utara hingga Tapanuli Selatan sekarang banyak dikuasai perusahaan tambang, perkembunan, dan energi. Ketiga wilayah ini terdampak parah ketika hujan deras dan angina kencang terjadi akibat siklon Senyar tiba.
“Pemerintah harus mengevaluasi izin-izin perusahaan yang beroperasi di ekosistem Batang Toru. Harus dievaluasi, minimal jangan diperluas,” kata Jaka.
Berdasarkan catatan WALHI Sumut, luasan ekosistem Batang Toru berkisar 250.000 ha, tapi dalam lima tahun terakhir “mengalami deforestasi mencapai 30 persen.”
“Sekarang logikanya kan logika ekonomi. Kami berharap kebijakan yang pro lingkungan dapat diterapkan dengan baik oleh pemerintah,” jelas Jaka.
Adanya hujan deras dan siklus iklim tentu memberi dampak pada banjir dan longsor di sejumlah wilayah Sumut, Sumbar, dan Aceh. Namun, tak bisa dimungkiri, deforestasi yang terus terakumulasi membuat hutan kehilangan daya serapnya.
Manajer Riset dan Data Forest Watch Indonesia (FWI) Ogy Dwi Aulia menjelaskan bagaimana kombinasi hujan deras dan fenomena deforestasi di Sumatra menjadi bom waktu.
Deforestasi yang terjadi selama bertahun-tahun, kata Ogy, membuat daya tampung air menipis. Sehingga, ketika hujan turun deras akibat siklon, hutan kehilangan kemampuan untuk menjalankan fungsi ekologisnya.
“Hutan tidak hanya mengikat air, tapi juga mengikat tanah yang ada di suatu wilayah. Ketika terjadi deforestasi, maka tidak ada lagi pengikat air yang ada di situ, menyebabkan tanahnya akan gampang tergerus, prosesnya erosi, menyebabkan longsor, dan sebagainya. Banjir bandang juga terpicu karena hal tersebut, karena tidak ada kemampuan lagi,” kata Ogy menjelaskan. (VOI)
BACA Juga: Pemerintah Kerahkan 11 Helikopter untuk Percepatan Penanganan Bencana di Sumatera
Ikuti dan dapatkan juga update berita pilihan dari sukabumiNews setiap hari di Channel WahatsApp, Telegram dan GoogleNews.
COPYRIGHT © SUKABUMINEWS 2025.









