Pun sama dengan kebijakan Rasulullah ﷺ dalam perang Hunain. Jumlah pasukan dan persenjataan kabilah Hawazin dan Tsaqif dua kali lipat dari kaum muslim.
Rasulullah ﷺ meminjam 30 atau 40 baju besi dan perlengkapannya pada Shafwan bin Umayyah pemimpin Bani Jumah. Beliau saat itu masih kafir. Bahkan Beliau tak segan ikut berperang membantu Rasulullah ﷺ.
Kedua, mempelajari sains teknologi dan strategi perang
Untuk menghadapi Perang Thaif tahun 8 H, Rasulullah ﷺ memerintahkan Salman al Farisi untuk membuat manjanik (pelontar batu) dan dababah (pendobrak pintu benteng).
Bahkan Rasulullah ﷺ memerintahkan Urwah bin Mas’ud dan Ghailan bin Salamah mempelajari manjanik dan dababah di Jarasy Syam di bawah kekuasaan Romawi.
Untuk menghadapi Pasukan Ahzab dalam Perang Khandaq, Rasulullah ﷺ mengambil pendapat Salman al Farisi terkait strategi perang. Yaitu menggali parit lebar dan dalam di muka pagar Kota Madinah sebagai basis pertahanan kaum Muslim.
Strategi ini biasa digunakan oleh Persia (kampung halaman Salman al Farisi) dalam perang. Sehingga dapat dikatakan Rasulullah ﷺ mengadopsi strategi perang dari non-Muslim.
Ketiga, melakukan aqad ijarah dalam perang
Nyawa Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar as Shiddiq terancam saat hijrah dari Makkah ke Madinah. Kafir Quraisy menggelar sayembara akan memberikan imbalan 100 ekor unta bagi yang menemukan Rasulullah ﷺ.
Untuk mengatasi ini, Rasulullah ﷺ menyewa (aqad upah) seorang kafir bernama Abdullah bin Uraiqidh memandu perjalanan arah berbeda dari biasanya yang tak diperkirakan kafir Quraisy.
Keempat, melakukan perjanjian sekutu dengan non-Muslim
Bani Hasyim dengan Kabilah Khuza’ah terlah terjalin perjanjian sekutu sejak zaman jahiliyah. Ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah tetap mempertahankan perjanjian tersebut.
Pertengahan tahun 623 M terjadi perang di Waddan (jalur perdagangan dari arah Mekkah dan Syam). Dalam perang ini Quraisy bersekutu dengan Bani Dhamrah. Rasulullah ﷺ pun sama mengadakan sekutu dengan suku-suku di sekitar jalur perdagangan ini.
Dari perbuatan Rasulullah ﷺ tersebut, secara hukum fiqih boleh muslim bekerja sama dengan non-Muslim dalam perang. Baik menerima meminta bantuan militer; membeli menyewa meminjam militer; belajar militer; kontrak militer; persekutuan militer dan sebagainya.
Kerja sama tersebut tanpa syarat, maksudnya kerja sama yang tak bertentangan dengan akidah atau melanggar syari’at Islam. Karena setiap syarat yang menyalahi akidah dan syari’at Islam adalah batil.
Dengan landasan ini, hubungan rasional muslim dengan non-Muslim yang mendatangkan mashlahat pada kaum muslim tak dipermasalahkan. Wallahu a’lam bish-shawabi.*
Praktisi Pendidikan