Kejar Putusan Sengketa Hasil Pilpres, MK Hanya Libur Dua Hari Saat Lebaran

Suasana saat digelar sidang perselisihan hasil pemilihan umum dengan menghadirkan saksi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jum’at (5/4/2024). | Sumber: KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Hal itu diatur dalam Pasal 87 Huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 475 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2024.

”Menjadi hal yang sangat memungkinkan apabila hakim MK maupun pegawai MK untuk lembur di dalam cuti bersama yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu dari 6 April hingga 15 April 2024, untuk mengejar mempersiapkan RPH sekaligus putusan yang akan diucapkan pada 22 April mendatang,” ujar Dian.

Dengan waktu yang sangat mepet, menurut Dian, adalah hal wajar jika saat ini MK mengebut untuk mempersiapkan dengan sebaik-baiknya putusan terkait PHPU pilpres. Adapun terkait hak-hak pegawai yang tetap masuk pada hari libur, hal itu pasti telah diperhitungkan dan menjadi kebijakan internal dari MK.

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Khairul Fahmi, berpandangan senada. Menurut dia, soal MK tidak libur itu memang karena konsekuensi tenggat untuk penyelesaian sengketa hasil pilpres hanya 14 hari sejak perkara diregistrasi.

Rentang waktu itu termasuk sangat pendek jika dibandingkan dengan beban pemeriksaan dan analisis terhadap bukti-bukti yang dihadapkan di persidangan.

”Hakim konstitusi sekarang harus memeriksa hubungan antara bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan dan dalil yang dikemukakan. Itu pasti membutuhkan waktu, apalagi ada dua permohonan,” kata Khairul.

Read More

Khairul menambahkan, dengan adanya dua permohonan itu, MK harus menilai dua perkara sekaligus dengan mempertimbangkan dua alat bukti. Hakim juga harus menilai apakah alat bukti yang dihadirkan itu relevan atau tidak dengan dalil-dalil yang diajukan pemohon.

”Menganalisis itu membutuhkan waktu. Dan, saya kira konsekuensi tidak cuti menjadi suatu keharusan. Kalau tidak, malah bisa keteteran dan MK bisa dituduh tidak serius dalam menangani sengketa hasil pilpres,” katanya.

Substansi pemeriksaan

Terkait dengan substansi pemeriksaan perkara PHPU pilpres itu, Dian menilai masyarakat telah mengikuti bersama seluruh rangkaian pemeriksaan yang dihadirkan di muka persidangan. Keterangan-keterangan yang disampaikan itu nantinya diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi MK untuk memutus PHPU pilpres dengan memenuhi rasa keadilan.

”Selama ini tantangan yang dihadapi oleh MK tidak hanya sebagai Mahkamah Kalkulator yang secara kewenangan MK hanya berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilu (sesuai dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi),” ujar Dian.

Namun, lebih dari itu, MK juga diharapkan mampu menjadi Mahkamah Kualitatif untuk menilai apakah pemilu telah dilaksanakan sesuai dengan prinsip konstitusi, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Oleh sebab itu, MK benar-benar harus berperan sebagai penjaga konstitusi dan penjaga demokrasi di Indonesia.

Menurut Khairul Fahmi, melihat persidangan yang berlangsung di MK, pemohon nomor urut 1 dan 3 memang tidak banyak mendalilkan selisih angka hasil pilpres. Mereka lebih banyak bicara aspek penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.

Ada dua titik pandang yang berbeda antara pemohon pasangan calon Amin dan Ganjar-Mahfud dengan KPU dan pihak terkait. Karena itu, wajar jika ada pandangan KPU dan penilaian pasangan calon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, bahwa dalil-dalil yang diajukan pemohon lemah dan tidak terbukti dalam persidangan.

”MK sudah memberi ruang yang memadai bagi para pihak terkait untuk membuktikan dalil-dalilnya. Apakah MK akan memutus permohonan dikabulkan atau ditolak, tentu kami belum tahu,” kata Khairul.

Daftar

Related posts