Pencantuman agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) sangatlah penting
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan dua warga negara yang melakukan uji materi Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang mengatur masing-masing tentang pencantuman kolom agama dan kepercayaan pada Kartu Keluarga (KK) dan KTP.
sukabumiNews – Dua peristiwa dalam kehidupan manusia ketika menikah dan saat meninggal perlu mengenal identitas tersebut untuk melakukan upacaranya. Kalau kolom agama tersebut tidak ada, jika terjadi sesuatu, tentu membingungkan mereka yang mengurusnya.
Pada 3 Januari 2024 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan dua warga negara yang melakukan uji materi Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang mengatur masing-masing tentang pencantuman kolom agama dan kepercayaan pada Kartu Keluarga (KK) dan KTP.
Penggugat berpendapat untuk mereka yang tidak memeluk agama atau tidak memiliki kepercayaan tertentu, sebaiknya kolom agama itu dihilangkan. Namun, permohonan ini ditolak oleh MK dengan alasan, konstitusi menjamin kebebasan beragama, tapi tidak mencakup hak bagi bagi warga negara untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut hakim konstitusi dalam pertimbangannya, setiap warga negara harus menyatakan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana diharapkan Pancasila dan amanat konstitusi.
“Setiap warga negara hanya diwajibkan menyebut agama dan kepercayaannya untuk dicatat dan dibubuhkan dalam data kependudukan tanpa ada kewajiban hukum lain yang dibebankan oleh negara,” jelas Arief Hidayat, Hakim Konstitusi.
BACA Juga: Terbanyak dalam Sejarah, Ini Daftar 18 Dokumen Amicus Curiae yang Diterima MK
Ditambahkannya, ”tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dinilai sebagai kebebasan beragama atau kebebasan menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.”
Dalam amar putusannya MK mengatakan, “Menolak permohonan untuk selain dan selebihnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo, membacakan Putusan Nomor 146/PUU-XXII/2024.
Perlu dicatat pula bahwa dalam perkawinan atau pernikahan masalah agama juga disebutkan sebagai syarat sah perkawinan. Hal itu tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun l974 tentang perkawinan di mana dikatakan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.