sukabumiNews, JAKARTA – Selama sepuluh tahun Jokowi memerintah republik ini, Masyarakat Adat merasa tertipu dengan janji-janji yang pernah Jokowi sampaikan dan komitmennya di awal pemerintahan Jokowi yang tercantum dalam Nawacita.
Demikian disampaikan Abdon Nababan dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat merespon pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Penyampaian Laporan Kinerja Lembaga-Lembaga Negara dan Pidato Kenegaraan pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan RI.
“Tidak ada satu pun frasa Masyarakat Adat dalam pidato itu. Pidato itu hanya berisi klaim-klaim angka keberhasilan pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, bendungan dan jaringan irigasi. Jokowi juga mengklaim keberhasilan pembangunan smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga,” ungkap Abdon Nababan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Ia menyebutkan bahwa perjumpaan AMAN dengan calon Presiden Jokowi di tahun 2014 menorehkan 6 janji Nawacita Jokowi-JK untuk Masyarakat Adat. AMAN dan jaringan pendukung bekerja secara sukarela menggalang suara.
“Paling sedikit 12 juta suara kami sumbangkan untuk kemenangan Jokowi-JK. Setelah kemenangan, saya mewakili AMAN menerima obor relawan dari Surya Paloh dalam satu upacara di Kemayoran,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia mengutarakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, politik hukum Masyarakat Adat semakin memburuk. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN, UU KSDAHE, dan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam mengandung unsur-unsur “penyangkalan” yang kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya.
“Political will pemerintahan sangat rendah,” tuturnya.
Sementara Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan bahwa Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat.
“Bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan Masyarakat Adat,” katanya.
Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Syamsul Alam Agus menuturkan, sayangnya lagi, seluruh klaim keberhasilan di dalam pidato tersebut dibangun di atas perampasan dan penggusuran wilayah masyarakat adat.
“Data AMAN hingga Mei 2024 menunjukkan bahwa sepanjang rezim pemerintahan Jokowi berkuasa, telah terjadi perampasan wilayah adat seluas 11,07 juta hektar, 687 konflik Masyarakat Adat yang mengakibatkan 925 orang dikriminalisasi, serta puluhan diantaranya mengalami luka-luka dan satu orang meninggal dunia,” ujar Syamsul.
Bahkan menurut Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Kasmita Widodo, pengakuan wilayah adat baru mencapai 16% dari 30,1 juta hektar peta wilayah adat yang teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Sedangkan pengakuan hutan adat baru mencapai 8% dari 3,4 juta hektar potensi hutan adat dari wilayah adat yang telah ditetapkan pengakuannya oleh Pemerintah Daerah.
Hingga penghujung kepemimpinannya, mereka menilai belum ada legacy baik yang ditinggalkan Jokowi bagi Masyarakat Adat. Padahal, 10 tahun lalu, demi meraup suara Masyarakat Adat, Jokowi berjanji akan mendukung Masyarakat Adat.
“Janji tinggal janji. Janji Nawacita hanya tipuan. Jokowi 10 tahun berkuasa tak satu pun janjinya dipenuhi. Jangankan berterimakasih dan minta maaf, bahkan satu kata Masyarakat Adat pun tidak disebutkan di Pidato Kenegaraan terakhirnya pagi tadi,” ujar Abdon Nababan mengakhiri statemennya.