sukabumiNews, BANDUNG – Anggota Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat (DPRD Jabar) memandang masalah pendidikan tidak menjadi persoalan prioritas dua periode pemerintahan Joko Widodo. Akibatnya berbagai persoalan mendasar di sektor pendidikan belum dapat diatasi.
Tanggung Jawab Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa masih terhambat oleh berbagai persoalan. Hal ini seharusnya menjadi pengingat kepada negara telah seberapa jauh telah berperan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan mandat konstitusi.
Konstitusi sebagaimana dalam Pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, sehingga menjadi dosa besar konstitusional apabila Pemerintah bertindak abai atas berbagai persoalan hak atas pendidikan warga negara Indonesia dan berbagai masalah perlindungan dan pemenuhannya yang merupakan tanggungjawab pemerintah.
Demikian itu disampaikan Anggota Komisi V DPRD Jabar, Dessy Susilawati kepada sukabumiNews memalui rilis yang diterima, Rabu (21/8/2024), sebagaimana pernyataan sikap yang disampaikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2024 lalu.
Dessy memaparkan, saat itu, YLBHI memberikan beberapa catatan terkait dengan permasalahan pendidikan di Indonesia sebagaimana berikut:
1. Mahalnya biaya pendidikan dan pentingnya mewujudkan pendidikan gratis
Pasal 13 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mewajibkan indonesia untuk mengupayakan pendidikan cuma-cuma/gratis pada masing-masing jenjang pendidikan baik dasar, lanjutan dan tinggi. Namun, pengamatan YLBHI menunjukkan bahwa negara masih belum sepenuhnya menggratiskan pendidikan dasar dan lanjutan, dalam praktiknya masih banyak Sekolah Negeri membebankan biaya pendidikan atas nama sumbangan pendidikan.
Pada level pendidikan tinggi, kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan gratis masih jauh dari panggang api. Polemik mengenai penentuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin mahal selalu menjadi akar permasalahan yang menahun oleh banyak Universitas-Universitas Negeri dengan status PTNBH. Ironisnya, sebagai solusi atas persoalan pembiayaan pendidikan, Kampus justru ‘menjebak’ peserta didik dalam jerat pinjaman online. Bahkan saat ini terdapat 83 institusi Pendidikan Tinggi secara resmi bekerjasama dengan Perusahaan Pinjaman Online yang akan diakses oleh mahasiswa apabila tidak mampu membayar SPP.
2. Kesejahteraan guru, dosen dan tenaga pendidikan belum Terpenuhi
Eksistensi guru dan dosen sebagai tenaga profesional yang dibebankan untuk mengembangkan potensi peserta didik tidak sebanding dengan kesejahteraan yang seharusnya didapat. Hal ini tercermin dalam dalam pengamatan YLBHI yang menunjukkan bahwa upah guru honorer berkisar antara 1,5 juta sampai 2 juta di kota-kota besar, sementara di daerah berkisar 300 ribu sampai 1 juta. Hal tersebut juga terjadi pada dosen, Riset Kesejahteraan Dosen yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Kampus menunjukkan sebanyak 42,9% dosen menerima upah dibawah 3 juta perbulan dan 58% tenaga kependidikan merasa penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidup. Permasalahan ini tidak terjawab oleh anggaran pendidikan yang setiap tahunnya meningkat sebanyak 6%.
3. Korupsi pendidikan
Sektor pendidikan masih menjadi sektor yang berpotensi besar sebagai ladang korupsi bagi penyelenggara pendidikan yang disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan serta penegakan hukum. YLBHI mencatat, perilaku koruptif seperti banyaknya kasus pungutan liar, gratifikasi, kolusi ketika melakukan pengadaan barang dan nepotisme di saat penerimaan peserta didik baru masih menjadi tren tindakan koruptif. Pola ini terlihat pada kasus yang didampingi oleh LBH Medan terhadap 107 Guru Honorer di Sumatera Utara yang menjadi korban Gratifikasi disaat proses penerimaan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Ironisnya pada hari pendidikan nasional 2024, Anggie Ratna Fury Putri seorang Guru Honorer Sekolah SD 050666 Lubuk Dalam Kabupaten Langkat dipecat oleh Kepala Sekolah lantaran mengikuti demo mengkritisi proses seleksi yang curang.
4. Minimnya partisipasi bermakna (meaningfull participation) dalam perumusan kebijakan pendidikan
Salah satu amar Putusan Mahkamah Agung No 2596 K/PDT/2008 yang memutus perselisihan antara masyarakat sipil yang menolak pelaksanaan Ujian Nasional memerintahkan pemerintah untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional. Proses peninjauan kembali bertitik tolak pada upaya sejauh mana sistem pendidikan nasional telah menjawab kebutuhan-kebutuhan mendasar masyarakat dan peningkatan kualitas pendidikan di tanah air. Alih-alih melakukan itu, tahun 2022 menjadi saksi bagaimana Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi melakukan upaya Revisi UU Sisdiknas tanpa adanya proses perencanaan dan penyusunan yang transparan dan mengedepankan prinsip partisipasi bermakna dari masyarakat maupun para stakeholder pendidikan lainnya.
5. Politisasi pendidikan dan ancaman kebebasan akademik
Beberapa waktu belakangan, kritik para guru besar, dosen, beserta sivitas akademika yang gelisah terhadap problematika kenegaraan berujung pada ancaman dan teror baik fisik maupun digital bahkan melibatkan aparat keamanan negara. Hal tersebut adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan akademik dan bagian dari upaya negara untuk mendisiplinkan kebebasan akademik.