Dalam hadits dari Samurah bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ
“Barang siapa yang berkumpul bersama orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka ia semisal dengannya.” (HR. Abu Daud, no. 2787; Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Coba perhatikan peristiwa perang Badar yang terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah. Ketika itu 300-an kaum muslimin berhadapan dengan 1000-an orang kafir Quraisy. Perang tersebut terjadi karena berbeda prinsip akidah sehingga antara saudara dan kerabat bisa saling perang. Allah Ta’ala berfirman;
هَٰذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ ۖ فَالَّذِينَ كَفَرُوا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِنْ نَارٍ يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوسِهِمُ الْحَمِيمُ
“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka.” (QS. Al-Hajj: 19)
Ada kerabat yang saling membunuh dalam perang Badar disebutkan dalam ayat;
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka.” (QS. Al-Mujadilah: 22)
Dalam ayat, yang dimaksud “walau itu bapak mereka” adalah kisah Abu ‘Ubaidah yang membunuh ayahnya saat Perang Badar. “Walau itu anaknya” yaitu kisah seorang putra yang bernama ‘Abdurrahman yang dibunuh oleh bapak kandungnya dalam peperangan. “Walau itu saudaranya” yaitu kisah Mush’ab bin ‘Umair sewaktu ia membunuh saudaranya, ‘Ubaid bin ‘Umair. “Walau itu kerabatnya” yaitu kisah ‘Umar yang membunuh keluarga dekatnya. Begitu pula kisah Hamzah, Ali, dan ‘Ubaidah bin Al-Harits yang membunuh kerabatnya, yaitu ‘Utbah, Syaibah, dan Al-Walid bin ‘Utbah. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:212-213)
Lihatlah, para sahabat mencontohkan bagaimana mereka mendahulukan akidah daripada hubungan kekeluargaan.
Namun, catatan yang perlu diperhatikan bahwa bukan berarti saat ini di saat di negeri kita begitu damai, kita malah ingin berperang dengan non-muslim yang tidak punya masalah dengan kita. Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah tadi adalah berpegang teguh dengan prinsip al-wala’ wal bara’ (loyal pada muslim, berlepas diri dari non-muslim).
Bagaimana bentuk berlepas diri (bara’) dan tidak loyal pada non-muslim?
Yaitu kita tidak mengganggu mereka ketika mereka menjalani ibadah. Namun, kita tak perlu mencampuri urusan agama dan ibadah mereka. Kita tidak mengucapkan selamat hingga turut serta dalam perayaan mereka. Lebih-lebih kami ingatkan ini ketika sudah berada di bulan Desember.
Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah !
Bukan berarti kita tidak berbuat baik pada non-muslim. Kalau itu kerabat atau tetangga kita, tetaplah berbuat baik untuk hal duniawi. Kita hanya tidak turut campur dalam urusan agama.
Prinsip yang kita bahas ini terdapat dalam surah Al-Kafirun ayat terakhir;
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6)
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan mengenai prinsip ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagi kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath-Thobari, 24:704)