Gambaran sederhananya:
A meminta tolong kepada B untuk membelikan makanan, “Tolong belikan saya makanan pakai uangmu dulu, nanti saya ganti kalau engkau sudah di sini.” B pun membelikannya dan A memberikan uangnya tanpa ada uang tambahan sebagai “jasa”.
Pada transaksi ini, tentunya tidak ada masalah. Dengan alasan tidak ada manfaat yang diperoleh oleh B.
Namun, jika penyedia jastip mengambil keuntungan pada transaksi ini, tentunya hukumnya berbeda lagi. Karena ada dua akad yang berjalan pada satu transaksi;
- Pertama: Akad utang piutang.
- Kedua: Akad jual beli jasa.
Gambaran sederhananya:
Seperti di atas, namun B meminta biaya jasa atau A memberikan biaya jasa. Maka, hal ini yang dikritisi oleh para ulama. Karena padanya ada “biaya jasa” yang dianggap sebagai manfaat tambahan dari utang piutang seperti ini, jatuhnya adalah riba. Telah makruf kaidah dalam masalah ini,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَى نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا
“Setiap utang piutang yang memberikan manfaat (keuntungan), maka itu adalah riba.”
Utang piutang yang dimaksud pada transaksi ini adalah, uang talangan yang dimiliki oleh penyedia jasa. Hal ini dianggap sebagai “utang”, dan biaya jasa yang disepakati adalah sebagai “manfaat” atau keuntungan. Dan manfaat itu tidak akan ada, kecuali setelah adanya utang. Inilah yang tidak diperbolehkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak halal menyatukan antara salaf (penundaan barang) dan jual beli.” (HR. Abu Dawud)
Hal ini dilarang karena sebagai bentuk hilah (tipu daya) dari riba. Istilahnya riba yang terselubung, sehingga hal ini menjadi wasilah untuk mengambil manfaat dari utang piutang.
Beberapa hal yang harus diketahui tentang akad ini:
Pertama: Akad seperti ini adalah akad yang tidak diperbolehkan, karena menyatukan antara utang dan jual beli jasa. Telah terdapat larangan yang jelas dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas.
Kedua: Solusi dari akad yang tidak diperbolehkan ini adalah silakan untuk kembali kepada dua akad sebelumnya. Keduanya, InsyaAllah adalah akad yang diperbolehkan.
Ketiga: Sebagian ulama ada yang membolehkan akad seperti ini dengan syarat ‘urf atau kebiasaan yang sudah ada antara kedua belah pihak. Seperti antara ibu dan anak, atau tetangga, teman, dan lain sebagainya. Ibu ketika memerintahkan kepada anaknya untuk membelikan makanan dengan uang anaknya, kemudian ibu ingin melebihkan uangnya. Apakah yang demikian tidak diperbolehkan? Oleh karena itu, hal ini dikecualikan oleh sebagian ulama. Wallahu A’lam.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari sukabumiNews. Mari bergabung di Grup Telegram “sukabumiNews Update”, caranya klik link https://t.me/sukabuminews, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
COPYRIGHT © SUKABUMINEWS 2024