Pada dekade-dekade berikutnya, teknologi poligraf terus berkembang. Alat ini menjadi lebih cepat, lebih andal, dan lebih portabel, memungkinkan penggunaan yang lebih luas dalam berbagai situasi investigatif. Transformasi tersebut mencakup pengembangan perangkat digital yang mampu melakukan analisis data secara real-time, dan bahkan teknologi mobile yang memungkinkan penggunaan poligraf di lokasi yang berbeda tanpa memerlukan peralatan yang besar dan sulit dipindahkan.
Dengan demikian, sejarah dan perkembangan alat deteksi kebohongan menunjukkan upaya berkelanjutan dalam meningkatkan keandalan dan efektivitasnya sebagai alat investigasi. Teknologi ini terus berevolusi seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai bidang, termasuk penegakan hukum, keamanan, dan psikologi forensik.
Penggunaan alat deteksi kebohongan, atau yang dikenal sebagai poligraf, dalam sistem hukum di Indonesia telah menjadi topik yang menarik perhatian. Alat ini sering digunakan oleh penyidik untuk membantu dalam proses interogasi, terutama dalam menginvestigasi kasus-kasus yang kompleks. Meskipun poligraf dapat memberikan gambaran mengenai kebenaran dari jawaban yang diberikan oleh tersangka atau saksi, hasil dari alat ini tidak diakui sebagai alat bukti di pengadilan Indonesia.
Merujuk pada Peraturan Kapolri (Perkap) No.10 Tahun 2009, alat deteksi kebohongan diatur penggunaannya dalam lingkup penyidikan kepolisian. Peraturan ini menjelaskan bahwa poligraf dapat digunakan sebagai alat bantu dalam pemeriksaan, namun hasilnya tidak dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan hukum. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian ilmiah mengenai keakuratan hasil poligraf, yang masih menjadi perdebatan di kalangan ahli.
Beberapa putusan hakim di Indonesia juga menegaskan bahwa hasil dari poligraf tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Misalnya, dalam beberapa kasus pidana, pengadilan menolak untuk menerima hasil poligraf sebagai bukti langsung karena kekhawatiran akan keandalan dan validitasnya. Hakim lebih cenderung mengandalkan bukti-bukti lain yang lebih konkret seperti saksi, dokumen, dan bukti fisik.
Namun demikian, meski tidak diakui sebagai alat bukti formal, poligraf tetap memiliki peran penting dalam proses penyidikan. Alat ini dapat membantu penyidik untuk mendapatkan informasi awal yang dapat mengarahkan penyelidikan lebih lanjut. Dalam banyak kasus, hasil dari poligraf digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan strategi interogasi yang lebih efektif, serta untuk memfokuskan penyelidikan pada aspek-aspek tertentu.
Secara keseluruhan, meskipun hasil dari lie detector tidak dapat dijadikan bukti yang sah di pengadilan, penggunaannya tetap memberikan kontribusi signifikan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Penyidik perlu menggunakan alat ini dengan bijak dan tetap mengandalkan bukti-bukti yang lebih kuat dalam proses hukum.
Poligraf, yang sering dikenal sebagai lie detector, memiliki tingkat akurasi yang diakui sekitar 88-95% dalam kondisi optimal. Tingkat akurasi ini bisa sangat bervariasi tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhi hasil tes. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi akurasi adalah keterampilan dan metode analisis yang digunakan oleh pemeriksa poligraf.
“Pemeriksa yang berpengalaman dan terlatih mampu menginterpretasikan data dengan lebih akurat, meminimalkan kemungkinan kesalahan dalam penilaian. Metode analisis yang digunakan juga memainkan peran penting dalam memastikan hasil yang diperoleh seakurat mungkin,” papar Dede.