Dua Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Dinilai Mengancam Kebebasan Pers

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Ade Wahyudin menilai draf revisi UU penyiaran akan menjerumuskan jurnalisme di Indonesia menuju masa kegelapan. | Istimewa
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Bidang Pemerintahan tengah membahas revisi kedua Undang-Undang Penyiaran. Banyak pihak mengkritisi setidaknya dua pasal dalam draf RUU itu yang dinilai berpotensi mengancam kebebasan pers.

sukabumiNews, JAKARTA – Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini sedang digodok oleh Komisi I DPR menuai kritik tajam dari berbagai pegiat jurnalistik, peneliti media, termasuk Dewan Pers. Mereka menilai revisi draf RUU, yang salah satu isinya melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, justru mengekang kebebasan pers di Indonesia.

Pasal lainnya yang dinilai berpotensi mengancam kebebasan pers adalah soal pemberian kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. Ketentuan ini akan tumpang tindih dengan UU Pers yang telah memberikan kewenangan yang sama kepada Dewan Pers.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Ade Wahyudin menilai draf revisi UU penyiaran akan menjerumuskan jurnalisme di Indonesia menuju masa kegelapan. Ia mempertanyakan alasan melarang jurnalisme investigasi, padahal dalam UU Pers ada jaminan atas kerja dan karya jurnalistik.

Alasan bahwa jurnalisme investigasi mengganggu proses hukum, dinilai tidak masuk akal karena salah satu fungsi jurnalistik adalah memberi informasi kepada publik dengan segala instrumen yang sudah ada dalam UU Pers. Ade khawatir aturan itu akan menjadi “senjata besar” untuk melegalisasi pembatasan kerja-kerja pers atau pembungkaman pers.

“Artinya nanti kita tidak akan melihat lagi ditayangan penyiaran apalagi dia memasukan juga digital terkait dengan konten-konten yang kritis , konten-konten yang mengontrol jalannya pemerintahan, yang versinya investigasi. Pasal karet ini bisa jadi dapat memberangus kerja-kerja jurnalistik bahkan tidak terbatas pada investigasi karena tafsirnya masih belum jelas,” tegasnya saat diwawancarai VOA pada Rabu (15/5) lalu.

Masalah lain dalam draf revisi UU Penyiaran itu adalah kewenangan baru yang diberikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menangani sengketa jurnalistik, yang sebenarnya selama ini ditangani oleh Dewan Pers. Dua mekanisme dalam dua aturan berbeda akan memunculkan dua proses yang pada akhirnya akan membingungkan, tambahnya.

Read More

“Dewan Pers sendiri sebenarnya standarnya sudah cukup jelas kode etik yang memang disusun oleh masyarakat Pers. Ketika nanti disengketakan oleh KPI bisa jadi nanti standarnya akan berubah dan itu mungkin saja berpotensi menjerat ataupun membatasi pers-pers yang selama ini melaksanakan kerja-kerja jurnalistiknya,” ujarnya.

Kebebasan Pers di Masa Pemerintahan Jokowi Merosot

Secara terpisah Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Pemantauan Media Remotivi Yovantra Arief menyoroti kemerosotan kebebasan pers selama dua periode pemerintahan Jokowi karenya terbitnya beberapa peraturan yang bertentangan.

“Selain tidak boleh produk investigasi, aturan KPI itu juga melarang adanya misalnya kekerasan, perjudian, pencemaran nama baik jadi orang bisa mempermasalahkan, men-take down produk-produk jurnalistik. Jadi produk jurnalistik yang bicara soal perjudian, narkotika, LGBT itu tidak boleh dan itu bermasalah karena itu informasi yang tetap dibutuhkan oleh warga. Dan itu ada tumpang tindih aturan karena hal-hal tersebut kalau mengacu kepada UU pers, boleh,” jelasnya.

Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin mengatakan pasal yang menjadi pro-kontra hadir karena masukan agar penyiaran karya jurnalistik investigatif – yang seringkali beririsan dengan penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum – dapat dikontrol oleh KPI, sebagai penyeimbang. Namun Hasanuddin siap mendengar masukan lain, yang positif maupun negatif. [fw/em]



https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMN3MrAww6sy4BA?

Related posts