SUKABUMINEWS.ID – Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 amat krusial bagi masa depan transisi energi Indonesia. Pasalnya, pada beberapa tahun mendatang pemerintah harus ngebut untuk memperbanyak listrik energi terbarukan di tanah air guna memenuhi komitmen Perjanjian Paris-–kesepakatan penanganan perubahan iklim global.
Pada 2030 atau tujuh tahun lagi, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 31,89% dengan usaha sendiri atau 43,2% dengan bantuan internasional. Indonesia juga menargetkan sumbangan energi baru dan terbarukan (EBT) dalam sistem kelistrikan nasional pada 2030 sebesar 44%. Sementara, hingga saat ini, bauran energi terbarukan kita baru sekitar 13%.
Lebarnya jurang antara target dan pencapaian ini menciptakan pekerjaan rumah besar bagi kepemimpinan berikutnya.
Ada tiga calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum: Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mohammad Mahfud Md, serta Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Saya membaca dokumen visi-misi ketiga pasangan capres-cawapres. Seluruh kandidat memang menyertakan visi transisi energi dengan fokus yang berbeda satu dengan yang lain.
Pasangan Anies-Muhaimin, fokus untuk memastikan ketersediaan pasokan energi nasional sembari beralih ke energi terbarukan. Sementara itu, pasangan Ganjar-Mahfud menekankan pentingnya penggunaan energi terbarukan secara massal di masyarakat. Visi dan misi pasangan Prabowo-Gibran soal transisi energi nasional menitikberatkan pencapaian swasembada energi.
Namun, meski telah menyinggung rencana transisi energi, visi-misi para kandidat masih memiliki beberapa kekurangan terutama dalam target energi bersih dan pemerataan aksesnya. Kandidat perlu memoles visi-misi serta programnya agar publik dapat mengetahui seberapa serius mereka menjadikan sektor energi lebih ramah lingkungan.
Setidaknya terdapat tiga prioritas area sebagai agenda besar transisi energi nasional yang masih memerlukan komitmen kepemimpinan nasional.
1. Pensiun dini PLTU
Kelebihan produksi listrik terutama dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) merupakan salah satu hambatan utama transisi energi nasional. Hingga 2022, total kapasitas PLTU terpasang di Indonesia mencapai 42,1 gigawatt. Konsumsi batu bara pada tahun yang sama mencapai titik tertinggi dalam sejarah, sebesar 745 juta barel setara minyak, dan emisinya mencapai 404 juta ton CO2.
Pembatasan pembangunan PLTU baru serta pensiun dini PLTU yang sudah ada dan berjalan wajib menjadi agenda utama dalam visi-misi capres-cawapres. Upaya penutupan dini PLTU menjadi masalah yang tak kunjung usai sebab membutuhkan pendanaan yang sangat besar, sekitar USS$27,5 miliar (Rp425 triliun).
Pasangan Anies-Muhaimin serta Prabowo-Gibran menyebutkan secara eksplisit bahwa pengakhiran dini PLTU menjadi salah satu program kerja yang diusung. Namun, langkah yang ditawarkan serta rencana pendanaan masih tidak jelas. Sebaliknya, pasangan Ganjar-Mahfud belum menyentuh isu penutupan dini PLTU dalam dokumen visi-misi mereka.
Demi memastikan target pemangkasan emisi di tahun 2030, ketiga pasangan capres dan cawapres sepatutnya merencanakan pensiun dini PLTU secara konkret serta realistis agar tidak sekadar menjadi jargon untuk menarik suara pemilih.
2. Peningkatan bauran energi terbarukan
Target bauran energi terbarukan Indonesia saat ini (13%) masih jauh dari target 2030 (44%). Pasangan capres-cawapres seharusnya menampilkan target angka bauran energi terbarukan pada akhir kepemimpinan yaitu 2029 dalam dokumen visi-misinya. Hal ini penting demi transparansi serta memudahkan masyarakat dalam menilai kinerja mereka saat terpilih.