Tak hanya perusahaan besar dan menengah, pekerja mikro dan kecil juga wajib mengikuti program JKN, JKK, JHT, dan JKM.
Syarat lainnya, peserta harus memenuhi masa iuran paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan dan telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut sebelum terjadi PHK.
Dengan persyaratan administratif seperti di atas, JKP masih bias pekerja formal dan hanya bisa memperoleh mereka yang pemberi kerja (perusahaan) secara tertib dan jujur dalam membayar iuran bulanan pekerjanya. Sementara itu, banyak kasus di lapangan yang menunjukkan perusahaan-perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya dan menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan. Akibatnya, karyawan perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa mendapatkan manfaat JKP jika dihentikan sepihak.
Pekerja juga harus mengurus dan mendapatkan sendiri surat rekomendasi dari Dinas Tenaga Kerja/Mediator Hubungan Industrial. Pekerja dengan status kontrak dan mengundurkan diri (resign), tidak berhak mendapat JKP. Ditambah lagi, bagi yang memenuhi syarat, banyak juga yang tidak melakukan klaim JKP karena mereka memilih menunggu untuk mendapatkan pekerjaan atau pembaharuan kontrak kerja lainnya.
Tak hanya itu, pekerja yang proses PHK-nya harus menunggu keputusan Pengadilan Hubungan Industrial, kemungkinan besar sulit mendapatkan manfaat dari JKP. Sebab, proses pengadilan kerap memakan waktu lebih dari tiga bulan. Padahal, batas maksimal mengakses JKP adalah 3 bulan setelah putusan PHK oleh perusahaan.
Persyaratan yang bias dan administrasi yang berbelit ini membuat pekerja sulit mengakses jaring pengaman yang mereka perlukan saat kehilangan pekerjaan.
3. Faktor literasi dan kesiapan teknis
Manfaat JKP sebenarnya cukup positif, seperti pemberian uang tunai selama enam bulan, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Namun, minimnya sosialisasi resmi membuat berbagai manfaat baik ini belum diketahui atau diketahui oleh masyarakat secara luas..
Selain itu, pelaksanaan program ini pun tampaknya kurang siap. Baru manfaat uang tunai yang memiliki alur cukup jelas, baik besaran maupun mekanisme penyalurannya. Sementara itu, manfaat akses informasi lapangan kerja pelatihan dan kerja–-yang berada di bawah tanggung jawab Kemenaker–-masih kurang jelas prosedur, proses, dan teknisnya.
Program Pelatihan yang diselenggarakan dalam JKP dapat dikumpulkan berdasarkan kluster, okupasi/jabatan, atau kualifikasi nasional dengan minimal 40 jam pelatihan (JP) atau sesuai dengan program yang telah ditetapkan Kemnaker. Pelatihan ini juga dapat diselenggarakan secara online, offline, atau blended.
Namun demikian, kesesuaian jenis pelatihan dengan kebutuhan pekerja masih diperdebatkan. Belum ada evaluasi yang terukur dan transparan untuk melihat apakah program-program tersebut benar-benar membantu korban PHK untuk bisa kembali masuk ke lapangan kerja.
Memperbaiki JKP
Melihat berbagai temuan dan argumentasi di atas, kami memiliki beberapa catatan dan rekomendasi agar pelaksanaan JKP lebih efektif.
Pertama, Pemerintah perlu meringankan persyaratan penerima JKP. Persyaratan kepesertaan wajib dalam program jaminan sosial untuk pekerja mandiri atau informal sebaiknya dikurangi menjadi dua saja, misalnya JKK dan JKM. Hal ini akan meringankan beban administrasi mereka dan meningkatkan peluang bagi lebih banyak pekerja untuk mendapatkan manfaat JKP.
Kedua, anggaran dan jenis manfaat pelatihan kerja tidak boleh sama rata. Program yang ada sebaiknya menyesuaikan antara kompetensi dan keahlian individu dengan jenis pelatihan yang diikuti agar memberikan nilai tambah bagi penerima manfaat JKP.