Klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan di Indonesia Masih Seret, Tiga Hal Ini Penyebabnya

Nasabah melakukan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sudirman, Jakarta, 15 Februari 2022. Tempo/Tony Hartawan

SUKABUMINEWS.ID – SURVEI Agenda Warga dari New Naratif mengundang lebih dari 1.400 orang dari seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasi mereka tentang apa saja isu yang dianggap paling penting bagi masyarakat. Artikel ini merupakan kolaborasi The Conversation Indonesia dan New Naratif untuk menanggapi hasil survei tersebut.

Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun ini, persoalan kemiskinan dan kerentanan menjadi salah satu topik yang dianggap paling mendesak oleh para responden. Isu mengenai keamanan kerja dan jaminan sosial, misalnya, adalah bahasan yang banyak mendapat sorotan dari para responden.

Sejak 1 Februari 2022, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat mengajukan klaim manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Ini seakan menjadi angin segar pasca-Pandemi COVID-19, bayang-bayang resesi, dan kemelut Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang membuka mata masyarakat bahwa tak ada dari kita yang benar-benar aman dari ancaman PHK.

Tercatat, hingga April 2023, BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan manfaat JKP kepada 28 ribu peserta, dengan total nominal mencapai Rp135,99 miliar.

Sayangnya, jumlah ini masih cukup jauh dari estimasi korban PHK yang dirilis oleh Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). Sejak 2021 hingga April 2023, ada lebih dari 113 ribu orang yang dihentikan sepihak dari pekerjaannya.

Read More

Dengan perbandingan tersebut, terlihat masih banyak korban PHK yang belum mendapat manfaat dari jaring pengaman ini.

Kami melihat ada tiga faktor yang membuat cakupan JKP masih rendah meski sudah hampir dua tahun berjalan: faktor politik dan persepsi publik, faktor administrasi, dan rendahnya literasi.

1. Faktor politik dan persepsi masyarakat
Demo pekerja dan pelajar menolak UU Cipta Kerja di Jakarta pada 2020. Wulandari Wulandari/shutterstock

Persepsi negatif masyarakat terhadap UU Ciptaker-–kerap disebut sebagai omnibus law–-menjadi salah satu faktor di balik masih rendahnya klaim JKP.

JKP lahir dari rahim omnibus law, yang sejak awal usulan sudah mendapat penolakan dan penolakan sangat luas di akar rumput. Masyarakat menilai UU yang bertujuan menarik investasi ini mengabaikan perlindungan hak-hak pekerja, termasuk memperbesar potensi terjadinya PHK.

Bahkan, setelah disetujui pada tahun 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU ini inkonstitusional bersyarat pada tanggal 25 November 2021. Belum menyelesaikan waktu perbaikan, pemerintah tiba-tiba mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2022 untuk “mengganti” UU Ciptaker– meskipun kenyataannya tidak banyak perubahan berarti dalam aturan pengganti tersebut.

Rentetan kontroversi ini menjadikan penolakan publik dan pekerja terhadap UU Ciptaker tak kunjung tuntas sampai sekarang.

Sebagai respons terhadap kecaman publik, pemerintah mengeluarkan aturan rentetan untuk memperkenalkan JKP pada tahun 2021, termasuk untuk mengatur pelaksanaan, peserta, dan pemberian manfaat program jaminan sosial ini. Peraturan Pemerintah No.37/2021 terbit untuk mengatur pelaksanaan JKP.

Dalam konteks regulasi dan politik seperti di atas, dapat dipahami jika program JKP kemudian tidak mendapat dukungan dari Serikat Pekerja.

Temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada tahun 2022 di Kabupaten Bekasi dan Kota Batam–sebagai representasi daerah industri–memperkuat hal ini. Hampir semua serikat pekerja/buruh di wilayah penelitian menolak UU Ciptaker dan secara tegas tidak ikut melakukan sosialisasi manfaat JKP kepada anggotanya. Dalam sebuah diskusi terpimpin, salah satu pimpinan serikat buruh mengatakan:

…yang kami perlukan adalah jaminan kepastian pekerjaan, bukan jaminan kehilangan pekerjaan! JKP justru menjadi alasan yang mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK kepada karyawannya.

Perubahan framing dan hubungan JKP dengan UU Ciptaker yang terlanjur buruk ini memerlukan keberpihakan dan tindakan politik yang berani dari pemerintah dan DPR.

2. Faktor administrasi

Secara normatif, JKP dapat diterima oleh warga Indonesia yang telah terdaftar dan belum berusia 54 tahun. Penerima manfaat yang bekerja di perusahaan besar dan menengah wajib peserta aktif menjadi peserta aktif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKM) dari BPJS Ketenagakerjaan.

Dapatkan kiriman baru melalui email
https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMN3MrAww6sy4BA?