Secara yuridis, bombardir yang dilakukan IDF bertentangan dengan Pasal 50 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 yang secara tegas membedakan orang-orang sipil dan penduduk sipil. Dalam Pasal 48 di konvensi yang sama dinyatakan operasi militer harus dibedakan antara penduduk sipil dan kombatan, serta objek sipil dan sasaran militer, dan serangan hanya diarahkan ke sasaran militer.
Serangan IDF juga menabrak asas perikemanusiaan (humanity), prinsip pembedaan (distinction principle) dan prinsip pembatasan (limitation) dari hukum humaniter. Asas dan prinsip tersebut, intinya melarang penduduk sipil dan obyek sipil seperti tempat ibadah, rumah sakit, sekolah, pasar, peninggalan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan fasilitas publik dijadikan sasaran perang atau dihancurkan.
Selain itu, penyetopan pasokan air, suplai bahan makanan, listrik, dan obat-obatan untuk orang sakit merupakan aksi pengingkaran terhadap keharusan melindungi objek-objek yang menopang kelangsungan hidup penduduk sipil, seperti diatur dalam Pasal 54 Konvensi Jenewa. Dalam Pasal 56 juga ditetapkan bendungan, tanggul, pusat pembangkit listrik tidak boleh diserang dan dijadikan sasaran perang.
Selama 75 tahun Israel menjajah Palestina, ada banyak pelanggaran hukum hak asasi manusia (HAM) internasional dan hukum humaniter yang dilanggar Israel. Diantaranya pembunuhan secara illegal yang disertai perpindahan paksa dan penahanan penduduk secara kejam. Pun, melakukan blokade Jalur Gaza, pembangunan permukiman illegal, kebijakan diskriminatif terhadap warga Palestina, dan penggunaan senjata ilegal.
Setidaknya ada tiga alternatif mekanisme penegakan hukum yang bisa ditempuh untuk menghukum para pelaku (dalang) dibalik kejahatan genosida dan atau kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel terhadap penduduk Palestina.
Pertama, menurut Konvensi Jenewa 1949 setiap pemerintah yang meratifikikasi konvensi harus membuat UU nasional dengan sanksi pidana bagi setiap pelaku atau memerintahkan pelanggaran berat terhadap Konvensi (pasal 49 ayat 1). Upaya ini sulit dilakukan karena Israel belum meratifikasi konvensi tersebut dan Israel akan berjibaku melindungi warganya yang melakukan kejahatan.
Selajutnya, lewat Mahkamah ad hoc yang khusus mengadili kejahatan Israel di Palestina dengan syarat Dewan Keamanan (DK) PBB menetapkan resolusi untuk membentuk mahkamah ini. Sayangnya resolusi ini harus didukung suara bulat lima anggota tetap DK PBB –Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, dan Republik Rakyat Cina– dan bisa dipastikan resolusi akan diveto oleh sekutu Israel seperti Amerika Serikat, Inggeris atau Perancis.
Terakhir, melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang didirikan berdasarkkan Statuta Roma 1998 dan berwenang mengadili pelaku kejahatan perang (the most serious crimes). Kendalanya, jurisdiksi ICC baru bisa diterapkan jika negara pelaku kejahatan mau terikat dan menjadi pihak pada Statuta Roma, tapi Israel dan Amerika Serikat tidak terikat karena belum meratifikasi Statuta Roma.
Boleh jadi karena ketiga mekanisme penegakan hukum tersebut sudah “dipagari” sehingga setiap pelanggaran terhadap Piagam PBB dan hukum humaniter internasional yang dilakukan Israel di wilayah pendudukan Palestina, selalu mandeg dan tidak pernah berhasil menjerat dalangnya.
Akankah Israel kembali lolos dari tuduhan sebagai negara pelaku kejahatan genosida maupun kejahatan kemanusiaan, dan para dalangnya bebas dari hukuman, kita nantikan dan saksikan bersama.
Abdul Salam Taba, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Bosowa dan The University of Newcastle