Di luar dinamika paslon, platform seperti Bijak Memilih dan Kawal Pemilu menunjukkan tingginya partisipasi publik pada Pemilu 2024.
Sayangnya, kecenderungan antiintelektualisme, pengaruh media sosial TikTok, dan disinformasi dengan penggunaan kecerdasan buatan dalam Pemilu 2024, menjadi tantangan terbesar bagi demokrasi di Indonesia saat ini.
Untuk mengembalikan kesadaran politik kaum terdidik, perlu dilakukan langkah sistematis untuk menghentikan komersialisasi pendidikan tinggi.
Krisis Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukkan darurat penanganan keuangan perguruan tinggi. Gagasan student loan yang sangat Amerika-sentris harus ditolak karena akan semakin memperkuat kecenderungan hyper-individualisme.
Di sisi lain, pemerintah melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), mengelola dana abadi sebesar Rp136 triliun, untuk pendidikan pascasarjana dalam dan luar negeri. Alih-alih memperkaya kampus di luar negeri, pemerintah perlu memikirkan opsi untuk mengalokasikan dana abadi sebesar itu untuk memperbaiki pendidikan tinggi di dalam negeri.
Dengan demikian, kita bisa bersama-sama mengembalikan fungsi universitas sebagai tempat untuk memupuk semangat berkumpul, berserikat, dan mengemukakan pendapat di kalangan kaum terdidik.
Penulis: Asep Muizudin Muhamad Darmini
Lecturer in Media and Communication, Binus University