Terkenal sebagai mafia Berkeley, para ekonom ini bertujuan meniru pola pembangunan AS di Indonesia di era 1960-an yang fokus ke pembangunan ekonomi kapitalis berbasis pasar bebas.
1. Memaksa individu fokus kuliah saja
Pola pembangunan berbasis pasar bebas yang dibawa oleh para mafia Berkeley kemudian diikuti oleh normalisasi kehidupan kampus (NKK) pada tahun 1977-1978 yang bertujuan untuk melumpuhkan organisasi kemahasiswaan.
Praktis, selama era 1980an, pola pembangunan ini telah melahirkan kaum terdidik yang sejahtera dan efektif bekerja, tetapi abai terhadap ketimpangan dan masalah-masalah sosial di sekitarnya.
Dalam Identity and Pleasure: the Politics of Indonesian Screen Culture, Ariel Heryanto menggambarkan bagaimana penghilangan atau penghapusan kegiatan politik (depolitisasi) juga dilakukan dengan menayangkan film dan serial AS di bioskop dan televisi, sebagai upaya untuk memperkuat nilai individualisme anak muda di era Orde Baru.
2. Harus cepat lulus karena kuliah mahal
Gerakan mahasiswa memang sempat menguat kembali pada dekade 1990-an. Krisis ekonomi di Asia tahun 1997 memunculkan kesadaran mengenai kesenjangan sosial yang terjadi selama tiga dekade Orde Baru berkuasa. Gerakan mahasiswa di kampus menjadi tulang punggung lahirnya era reformasi pada tahun 1998.
Lalu muncul tantangan baru, yaitu arus komersialisasi pendidikan melalui pembentukan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) pada tahun 2000. Empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yakni UI, UGM, ITB, dan IPB diberikan kewenangan penuh pengelolaan keuangan.
Pembentukan BHMN ini menempatkan pendidikan tinggi sebagai lembaga yang ditentukan oleh pasar, tidak lagi sepenuhnya didanai oleh negara, sehingga biaya kuliah menjadi semakin mahal.
3. Harus cepat lulus supaya bisa segera bekerja
Pemerintah cenderung menjadikan perguruan tinggi sebagai tempat untuk mendapatkan kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan di lapangan kerja.
Pengangkatan Nadiem Makarim, co-founder GoJek lulusan kampus bergengsi AS yang dikenal dengan sebutan Ivy League, sebagai Menteri Pendidikan pada tahun 2019 mengindikasikan keinginan pemerintah untuk menjadikan ekonomi digital sebagai tulang punggung pembangunan bangsa.
Sayangnya, program Kampus Merdeka yang dicanangkan Nadiem pada 2020 hanya fokus menyiapkan sarjana yang siap kerja, mengabaikan penguatan keilmuan dan kesadaran politik yang semestinya dimiliki oleh kaum terdidik. Pragmatisme pendidikan semacam ini sangat mirip dengan fenomena hyper-individualisme yang menggerogoti pendidikan tinggi di AS.
4. Krisis lapangan kerja membuat individu enggan berpolitik
Sebelum pandemi COVID-19, digitalisasi dianggap sebagai penggerak ekonomi yang utama, terutama dengan munculnya berbagai start-up bergaya Amerika di Indonesia. Faktanya, kesenjangan sosial dan keterbatasan akses pendidikan tinggi, menyebabkan ekonomi digital hanya menguntungkan segelintir kalangan kaum terdidik.
Selain itu, sektor ini juga dinilai tidak bisa memberikan kepastian hukum bagi pekerja. Terdapat kesenjangan antara kualifikasi pendidikan dan kepuasan di tempat kerja. Krisis kesehatan mental yang terjadi di AS juga membayangi pekerja terdidik di Indonesia.
Hal ini diperburuk oleh tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selama pandemi yang tidak hanya menyasar pekerja kerah biru, tetapi juga mereka dengan kualifikasi pendidikan tinggi. Bagi kaum terdidik, krisis lapangan kerja semakin menggerus kemampuan mereka untuk berserikat dan berkesadaran politik.
Apa solusinya?
Harus diakui, Pemilu 2024 telah mengantarkan kita kepada babak baru demokrasi di Indonesia. Forum-forum kampanye seperti “Desak Anies” dan “Demokreasi” menunjukkan kematangan para kandidat politik dalam berdemokrasi.