Tata kelola yang bercorak kapitalistik sangat mustahil mewujudkan swasembada pangan. Produksi pangan tidak akan mungkin massif, sebab liberalisasi kepemilikan lahan menjadikan para petani kehilangan tanah garapannya. Begitu juga dengan aspek distribusi yang menjadi pangkal persoalan, karena dalam sistem ini swastalah yang jadi penguasanya. Oleh karena itu, selama sistem kapitalisme masih menguasai, impor beras akan terus terjadi dan kedaulatan pangan tidak akan tercapai.
Tata Kelola Berlandaskan Islam
Rakyat tentu menginginkan berada dalam kehidupan yang sejahtera dan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasarnya. Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya kezaliman sistemik dirasakan rakyat, di mana negaralah aktornya dan kapitalisme global sebagai pemandunya. Maka dari itu caranya hanya satu, bahkan ini metode satu-satunya sebagai jalan perubahan yang revolusioner. Karena tanpanya, perubahan-perubahan yang dimaksud hanya akan bersifat parsial dan tak akan mampu menuntaskan berbagai problem termasuk ketahanan pangan hingga ke akar.
Segala problem yang dihadapi rakyat dalam kehidupan sejatinya dikarenakan belum diterapkannya sistem yang mengatur alam semesta, manusia, dan kehidupan yakni Islam. Sistem yang menawarkan kebaikan dan solusi hakiki bagi rakyat hanyalah sistem Islam, yang berasal dari Zat Yang Maha Baik, Maha Menciptakan semesta beserta isinya, Yang Maha mengetahui apa yang terbaik bagi setiap makhlukNya.
Islam memandang terkait persoalan pangan merupakan tanggung jawab negara untuk menyediakan kebutuhan pokok termasuk makanan di dalamnya. Oleh karena itu, negara akan menjalankan perannya dan akan mencari jalan agar kedaulatan pangan terwujud. Hal tersebut akan dilakukan negara melalui mekanisme yang khas dan telah terbukti menjadikan negara berdaulat tanpa bergantung dengan negara lain.
Adapun mekanisme Islam dalam menciptakan swasembada pangan di antaranya, pertama, memosisikan penguasa sebagai pengurus rakyat. Mulai produksi hingga distribusi ada di bawah pengelolaan negara. Kalaupun pihak swasta terlibat, semua berada di bawah kendali negara dan tetap dalam pengawasannya. Penguasa harus benar-benar memastikan setiap warganya dapat mengakses pangan. Sehingga, perangkat negara mulai dari level bawah sekelas RT sampai pusat bersinergi untuk memenuhi seluruh hak warga. Jika ada warga yang tidak sanggup membeli beras, kewajiban negara memberikan bantuan hingga mereka mampu mencukupi kebutuhannya.
Kedua, swasembada pangan dilakukan semata untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Dalam kondisi tertentu, seperti paceklik atau bencana alam dan lainnya yang membuat stok pangan berkurang, kebijakan impor boleh diambil sesuai aturan syariat terkait dengan perdagangan luar negeri.
Ketiga, syariat Islam mengganjar dengan pahala yang besar bagi siapa saja yang dapat menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat). Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia akan mendapatkan pahala padanya. Dan apa yang dimakan oleh ‘awafi, maka ia sedekah baginya.” (HR. Ad-Darimi dan Ahmad).
Syariat pun menetapkan bahwa kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Negara akan mengambil alih tanah tersebut dan memberikan pada orang lain yang mampu mengelolanya. Khalifah Umar pernah menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan selama tiga tahun.
Aturan Islam dengan mekanisme pengelolaan lahan yang mudah dan bijaksana, mampu memilah sesuai kepemilikannya. Jika hal tersebut dikelola dan diatur secara langsung oleh negara, gairah para petani untuk menghasilkan produk-produk beras berkualitas dan banyak akan tercapai. Ditambah lagi dukungan negara dengan menyediakan pupuk, bibit padi unggulan, sarana dan prasarana bertani tentu akan membantu para petani secara mudah. Apalagi harga pupuk dan bibit padi murah, bahkan gratis, sangat membantu dalam menghasilkan beras unggulan pula. Dengan demikian, swasembada beras akan mampu terealisasi karena negara mengatur, mengelola, mengawasi, dan memberi dukungan. Sehingga kemungkinan kecil akan melakukan impor beras, sebab ketersediaan pangan dalam negeri melimpah dan seluruh warga hidup dalam kesejahteraan. Inilah wujud nyata ketika negara menerapkan sistem Islam.