Dalam setiap periode, terutama sejak mafia Berkeley membawa pola pembangunan ekonomi kapitalis berbasis pasar bebas milik Amerika Serikat (AS) ke Indonesia di era 1960-an, selalu saja ada upaya-upaya untuk meminimalisir penguatan keilmuan dan kesadaran politik yang semestinya dimiliki oleh kaum terdidik.
Jika dulu upaya-upaya melemahkan kesadaran politik tersebut muncul dalam bentuk normalisasi kehidupan kampus dan penayangan film serta serial AS di bioskop dan televisi, saat ini upaya tersebut dilakukan secara lebih sistematis.
Kalangan terdidik, yaitu mereka dengan tingkat pendidikan tinggi, mengenyam bangku perkuliahan, sudah lulus dan bahkan sudah bekerja sesuai keahlian, harus berhadapan dengan kondisi hyper individualism atau individualisme yang berlebihan.
Kondisi ini membuat mereka terlalu sibuk, dan dalam beberapa kasus terlalu miskin, untuk berpolitik.
Mengapa?
Saat ini, kaum terdidik di Indonesia seringkali terjebak dalam rutinitas yang memakan waktu dan energi mereka. Dalam dunia yang semakin kompetitif, mereka harus berjuang untuk mencapai kesuksesan pribadi dan karier yang diinginkan. Mereka harus bekerja keras untuk memenuhi tuntutan pekerjaan, memperoleh penghasilan yang cukup, dan membangun kehidupan yang stabil.
Hal ini menyebabkan mereka memiliki sedikit waktu dan energi yang tersisa untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Mereka terlalu sibuk bekerja, mengejar kesempatan karier, dan memenuhi tanggung jawab pribadi sehingga tidak memiliki waktu untuk mendalami isu-isu politik atau terlibat dalam aktivitas politik.
Selain itu, kondisi ekonomi juga memainkan peran penting dalam mengapa kaum terdidik cenderung tidak berpolitik. Banyak dari mereka yang terjebak dalam kondisi finansial yang sulit, terutama setelah lulus dari perguruan tinggi dengan beban utang yang besar. Mereka harus fokus untuk membayar hutang dan mencari penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ketika seseorang berjuang untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dasar mereka, berpolitik mungkin bukan prioritas utama. Masalah ekonomi yang dihadapi oleh kaum terdidik membuat mereka terjebak dalam siklus kerja yang melelahkan, yang menghabiskan sebagian besar waktu dan energi mereka.
Selain faktor waktu dan ekonomi, ada juga faktor ketidakpercayaan dan kekecewaan terhadap sistem politik yang membuat kaum terdidik enggan untuk terlibat dalam politik. Mereka melihat korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan dalam sistem politik yang membuat mereka merasa pesimis dan tidak berdaya.
Mereka mungkin merasa bahwa partisipasi politik tidak akan menghasilkan perubahan nyata atau bahwa suara mereka tidak akan didengar oleh para pemimpin politik. Akibatnya, mereka memilih untuk menjauh dari politik dan fokus pada kehidupan pribadi mereka.
Meskipun demikian, penting bagi kaum terdidik untuk menyadari bahwa politik adalah bagian penting dari kehidupan kita. Keputusan politik yang dibuat oleh para pemimpin berdampak langsung pada kehidupan kita sehari-hari, termasuk pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Sebagai kaum terdidik, kita memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat kita gunakan untuk berkontribusi dalam proses politik. Kita dapat menjadi agen perubahan yang membawa ide-ide inovatif dan solusi untuk tantangan yang dihadapi oleh masyarakat.
Jadi, meskipun ada banyak hambatan yang menghalangi kaum terdidik untuk terlibat dalam politik, penting bagi kita untuk tidak melupakan tanggung jawab kita sebagai warga negara. Kita harus mencari cara untuk tetap berpartisipasi dalam kegiatan politik, baik melalui pendidikan politik, dukungan terhadap calon yang berkualitas, atau bahkan mencoba terlibat langsung dalam politik.