“Dalam memperjuangkan kepentingan umum (kesejahteraan rakyat), para pemimpin tidak boleh bertindak setengah-setengah.”
Dalam suatu negara atau lingkaran masyarakat selalu diperlukan pemimpin yang mampu menumbuhkan kehidupan demokrasi dan memajukan kesejahteraan rakyatnya. Untuk mencapai maksud tersebut, setidaknya diperlukan tiga pilar yang perlu ditegakkan dan dipelihara.
Pertama, para pemimpin harus terpelihara keutuhan kepribadian dan kekokohan niatnya, untuk berhasil meraih pilar ini, para pemimpin harus memelihara kejujurannya. Kejujuran atau sikap berlaku adil disini meliputi pengertian mampu mengutamakan kepentingan umum atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Apa pun yang menggodanya, ia tak akan terpengaruh untuk berlaku curang karena mentalnya yang kokoh dan sudah teruji. Bahkan terhadap musuh atau golongan yang memusuhinya, apalagi kalau baru pada tahap berbeda pendapat saja ia tetap harus berlaku adil
Kedua, dalam memperjuangkan kepentingan umum (kesejahteraan rakyat), para pemimpin tidak boleh bertindak setengah-setengah. Perjuangan seperti itu hasilnya akan setengah-setengah pula. Pemimpin yang memiliki sifat seperti itu mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang negatif dan menandakan lemahnya pendirian. Ia mudah tergoda untuk meninggalkan rakyatnya demi keselamatan dan kepentingan pribadi, keluarga, atau golongannya.
Ketiga, setelah berkuasa pemimpin harus tetap konsisten. Artinya, mereka tidak boleh mengubah sikapnya yang kuat dan kokoh, yang telah melandasi perjuangannya sejak ia mulai memimpin. Jadi para pemimpin harus tetap konsisten pada amanat perjuangannya yang semila. Mereka harus mengenal kebenaran dan keadilan serta konsekuen memperjuangkannya, betapapun berat dan rumitnya jalan yang akan ditempuh. Juga, mereka tidak boleh angkuh dan hidup bermewah-mewah. Keangkuhan dan kemewahan selalu mudah melahirkan dorongan untuk berlaku curang.
Itulah sebabnya mengapa para nabi dan para pemimpin yang arif dan bijaksana dahulu selalu memelihara kepribadian dan budi pekerti, kerendahan hati, dan kehidupannya yang sederhana. Untuk itu perlu diingat peringatan keras Khalifah Sayidina Ali kepada Utsman ibn Hunaif, gubernur Basra, yang suka menghadiri pesta-pesta makan yang mewah yang diselenggarakan oleh para saudagar di Basra, sementara orang-orang miskin tidak diperhatikan.
“Saya tidak menyangka kamu makan enak-enak dengan mereka (para saudagar) yang telah mengusir kaum pengemis,” demikian antara lain kata Khalifah Ali. Sebelumnya, Khalifah Umar pernah juga menegur keras gubernur Mesir, Amr ibn Ash, karena selama periode pemerintahannya, Amr turut berdagang sehingga dengan kekuasaannya ia memonopoli perdagangan tanah yang sangat merugikan rakyat.
Betapa usaha monopoli membahayakan kehidupan rakyat maka dalam “Deklarasi Kairo tentang hak asasi manusia” yang dibuat oleh negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam pada 1990 ditegaskan tentang pelarangan usaha tercela tersebut. Pasal 14 deklarasi itu menetapkan, “Setiap orang berhak memperoleh keuntungan yang sah tanpa usaha monopoli, penipuan atau kerugian lainnya baik bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Riba dilarang sama sekali.”
Dalam menyukseskan reformasi yang sedang kita laksana kan dewasa ini, kita perlu memelihara sifat-sifat kepribadian ini supaya penyimpangan yang terjadi pada masa silam tidak terulang kembali. Dan, yang terpenting untuk diingat adalah hendaklah kita pandai mengambil hikmah dari kelemahan yang ada di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru dengan cara melakukan reformasi total. Reformasi tersebut terutama menyangkut tingkah laku para pemimpin yang bertanggung jawab atas nasib bangsa. Rakyat selama ini sudah cukup menderita akibat terjadinya kolusi, korupsi, dan nepotisme.