Pengenalan Alat Deteksi Kebohongan
sukabumiNews.id, BANDUNG – Alat deteksi kebohongan, atau yang lebih dikenal sebagai lie detector, merupakan perangkat yang dirancang untuk mengidentifikasi tanda-tanda fisik tertentu yang muncul ketika seseorang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh seorang investigator.
Alat ini memainkan peran penting dalam proses investigasi, terutama dalam kasus-kasus kriminal yang kompleks, seperti kasus pembunuhan Vina Cirebon yang telah menarik perhatian publik.
Prinsip dasar dari alat deteksi kebohongan adalah mendeteksi perubahan fisiologis yang mungkin terjadi saat seseorang berbohong. Perubahan ini meliputi peningkatan denyut nadi, perubahan tekanan darah, dan variasi dalam pola pernapasan.
Ketika seseorang berbohong, sistem saraf otonom mereka bereaksi terhadap stres yang dapat menyebabkan perubahan dalam indikator-indikator fisik ini. Alat deteksi kebohongan memiliki sensor yang ditempatkan pada tubuh subjek untuk memantau perubahan tersebut secara real-time.
Dalam konteks kasus-kasus kriminal, alat ini dapat menjadi alat bantu yang sangat berharga bagi penyidik.
Dede Farhan Aulawi, seorang pemerhati kepolisian, menjelaskan bahwa penggunaan alat deteksi kebohongan dapat membantu mengungkap kebenaran dan mendukung proses penyelidikan dengan lebih efektif. Alat ini tidak hanya membantu dalam mengidentifikasi kebohongan, tetapi juga dapat memberikan petunjuk penting yang dapat mengarahkan penyidik ke jalur investigasi yang lebih tepat.
Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa alat deteksi kebohongan tidak sepenuhnya sempurna. Ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil tes, seperti kondisi emosional subjek atau gangguan medis tertentu.
“Oleh karena itu, hasil dari alat ini biasanya digunakan sebagai salah satu dari banyak alat dalam proses investigasi yang lebih luas. Dalam kasus pembunuhan Vina Cirebon, misalnya, alat ini dapat memberikan informasi tambahan yang berguna bagi penyidik, tetapi tetap harus dikombinasikan dengan bukti-bukti lain untuk mencapai kesimpulan yang akurat dan adil,”
Demikian dipaparkan Dede Farhan Aulawi kepada sukabumiNews.id di Bandung, saat dimintai tanggapan mengenai kasus pembunuhan Vina Cirebon yang terjadi pada tahun 2016, yang belakangan kembali gencar dibahas dan dibincangkan melalui berbagai media, baik Televisi maupun media Online.
Sejarah dan Pengembangan Alat Deteksi Kebohongan
Alat deteksi kebohongan, lebih dikenal sebagai poligraf, memiliki sejarah panjang yang dimulai pada awal abad ke-20. Salah satu tokoh kunci dalam pengembangan teknologi ini adalah John A. Larson, seorang polisi di California.
“Larson mengembangkan perangkat awal yang mampu mencatat perubahan tekanan darah dan pola pernapasan ketika seseorang berbohong. Tujuannya adalah untuk membuat investigasi lebih ilmiah dan tidak hanya mengandalkan insting atau intuisi dari para penyelidik,” terang Dede.
Inovasi Larson pada tahun 1921 menandai langkah awal dalam upaya ilmiah untuk mendeteksi kebohongan. Perangkat ciptaannya, yang dikenal sebagai cardio-pneumo-psychogram, memberikan dasar bagi pengembangan lebih lanjut dari alat deteksi kebohongan.
“Alat ini mengukur respons fisiologis seseorang, seperti tekanan darah, denyut jantung, dan pola pernapasan, yang cenderung berubah ketika seseorang berbohong atau berada dalam situasi yang menimbulkan stres tinggi,” jelas Dede.
Seiring berjalannya waktu, teknologi deteksi kebohongan mengalami berbagai penyempurnaan dan inovasi. Pada tahun 1930-an, Leonarde Keeler, seorang rekan Larson, memperkenalkan versi poligraf yang lebih canggih, yang mencakup pencatatan aktivitas galvanik kulit, atau respon listrik pada kulit, sebagai indikator tambahan dari kebohongan. Perkembangan teknologi ini membuat alat deteksi kebohongan menjadi lebih akurat dan dapat diandalkan.