“Saat itu ada 61 negara di seluruh dunia yang memiliki kemampuan dan wewenang untuk melakukan operasi dunia maya, yang memengaruhi interaksi diplomatik dan militer,”
sukabumiNews.id, BANDUNG – Sebagian besar aktivitas dan interaksi manusia, baik di bidang ekonomi, sosial budaya, kerjasama pemerintahan, dan lain–lain, saat ini banyak dilakukan melalui dunia maya.
Pemerhati Hankam Dede Farhan Aulawi menyebut, hal ini sudah merupakan tuntutan kemajuan yang dianggap cepat dan lebih efektif serta efisien. Tetapi juga memiliki resiko dari kemungkinan adanya serangan siber dan bahaya teknologi komunikasi nirkabel.
“Secara global, tidak ada sektor yang dianggap kebal dari dampak kemungkinan terjadinya perang siber,” ujar Dede kepada sukabumiNews di Bandung dalam keterangannya, Senin (18/3/2024).
Lebih lanjut Dede mengatakan, perusahaan multinasional, lembaga pemerintah di semua tingkatan, organisasi besar, institusi militer, institusi kepolisian, Kementerian/Lembaga dan yang lainnya selalu memiliki resiko dari kemungkinan adanya serangan siber.
“Dengan demikian, maka keberadaan dan optimalisasi peran Pasukan Dunia Maya atau Pasukan Siber sangat penting sekali. Bahkan di dunia keberadaan pasukan siber ini sudah dikategorikan angkatan ke-4, setelah Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan kemudian Angkatan Siber,“ terangnya.
Menurutnya, eksistensi pasukan siber saat ini sudah merupakan tuntutan dan fakta realitas yang objektif sesuai dengan dinamika dan potensi ancaman yang terus berkembang. Hal ini pula yang melatarbelakangi pasukan NATO sejak tahun 2018 membentuk semacam kaukus pasukan siber-nya.
“Saat itu ada 61 negara di seluruh dunia yang memiliki kemampuan dan wewenang untuk melakukan operasi dunia maya, yang memengaruhi interaksi diplomatik dan militer,” ungkap Dede.
Dari 61 negara itu, sambung dia, 23 negara diantanya adalah anggota NATO. Jumlah ini, kata dia, merupakan peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun 2007 ketika hanya sepuluh negara, termasuk tiga negara NATO, yang memiliki kekuatan pasukan siber.
“Isu tentang perang siber (cyber war) terus dan selalu mengemuka di berbagai pertemuan para ahli pertahanan siber, bahkan diramalkan bisa memicu ketegangan antar Negara yang berimbas pada terancamnya kedamaian dunia. Itulah sebabnya Kepala Badan Telekomunikasi PBB, Toure Hamadoun pernah memperingatkan potensi perang dunia di dunia maya,” bebernya.
Meskipun pembentukan komando siber tersebar luas, namun banyak militer sekutu NATO menghadapi tantangan dalam beradaptasi dengan kompleksitas domain siber.
“Hanya sedikit sekutu NATO yang sudah piawai dalam melakukan operasi siber, yang mencakup tindakan untuk mengganggu, menyangkal, merendahkan martabat, dan berpotensi merusak target,” katanya.
Beberapa negara terus bergulat dengan integrasi operasi siber ke dalam pandangan strategis dan kerangka hukum mereka. Inilah hal yang menarik untuk dikaji agar bisa memprediksi militerisasi dunia maya dan menentukan arah konflik dunia maya di masa depan.
Sebagai catatan, riset pasukan siber yang mengemuka saat ini masih didominasi oleh AS, Rusia, Tiongkok, Korea Utara, dan Iran.
Fakta perang siber telah menjadi mandala perang baru sebenarnya sudah dan terus berlangsung sepanjang waktu.
“Penyerangan secara terbatas telah terjadi berkali-kali oleh beberapa negara, dimana kondisi ini dapat juga diasumsikan sebagai uji coba, namun peperangan yang sesungguhnya dan jauh lebih besar telah dipersiapkan berdasarkan urutan kronologis kejadian pada jaringan komputer di dunia yang telah dimulai sejak awal tahun 2000-an,” ungkap Dede.