sukabumiNews, JAKARTA – Raja Ampat tengah menjadi sorotan dalam sepekan terakhir. Tapi perhatian publik bukan gara-gara keindahan alamnya, melainkan karena kekhawatiran masyarakat terhadap kelestarian Raja Ampat.
Tanda pagar (tagar) Save Papua dan Save Raja Ampat menggema di media sosial sejak pekan lalu. Sampai sekarang, tagar tersebut masih digunakan para warganet, sebagai bentuk kepedulian terhadap apa yang terjadi di Raja Ampat.
Hastag Save Papua dan Save Raja Ampat ini muncul karena adanya perasaan khawatir terhadap dampak eksploitasi tambang nikel yang dinilai berbahaya tidak hanya untuk lingkungan, tapi juga keberlangsungan hidup masyarakat lokal di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Sebelum ramai tagar Save Raja Ampat, Greenpeace telah melakukan aksi protes saat konferensi Indonesia Critical Minerals Conference di Hotel Pullman Jakarta, Central Park, Jakarta Barat, Selasa (3/6/2025).
Tiga aktivis Greenpeace bersama seorang perempuan asal Papua membentangkan spanduk ketika Wakil Menteri Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno menyampaikan sambutannya. Mereka menyuarakan kekhawatiran dampak buruk aktivitas tambang nikel di Raja Ampat terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.
“Pemerintah bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi di Raja Ampat, di Papua. Save Raja Ampat,” ucap seorang aktivis yang berorasi.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bahkan ikut menyuarakan kekhawatirannya lewat akun media sosialnya. “Surga terakhir Indonesia yang bernama Raja Ampat itu kini berada dalam ancaman keserakahan industri nikel dan hilirisasinya yang digadang-gadang pemerintah,” tulis Susi di akun X-nya.
“Raja Ampat: Wisata ikonis atau tambang nikel?” imbuhnya, menggarisbawahi tantangan dalam Save Raja Ampat.
Tak hanya itu, Susi juga mendesak Presiden Prabowo Subianto segera mengambil langkah tegas untuk menghentikan proyek tambang tersebut, demi menjaga kelestarian Raja Ampat.
“Pak Presiden @prabowo mohon segera dihentikan,” pungkasnya.
Keberpihakan Pemerintah pada Perusahaan Tambang
Setidaknya ada lima pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya, menurut penelusuran Greenpeace Indonesia.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik menuturkan, dari lima pemegang IUP tersebut, sudah ada empat perusahaan yang telah melakukan eksploitasi pertambangan, dan satu lagi masih eksplorasi.
Salah satu dari lima perusahaan itu adalah PT Gag Nikel, yang kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia adalah anak perusahaan PT Antam Tbk. PT Gag Nikel menambang di Pulau Gag, yang luas daratannya sekitar 6.035,53 hektare dan dihuni 1.000 penduduk.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memang akhirnya menghentikan sementara izin operasi tambang PT Gag Nikel di Raja Ampat, setelah ramai tagar Save Raja Ampat. Pembekuan izin tersebut berlaku sejak Kamis, 5 Juni 2025.
Namun setelah melakukan kunjungan ke Raja Ampat, Bahlil mengatakan warga Pulau Gag justru ingin pertambangan nikel dilanjutkan. Pemerintah dinilai berpihak pada perusahaan tambang. Pertama, karena Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu menyebut potret kerusakan lingkungan Raja Ampat yang beredar di media sosial adalah hoaks. Menurutnya, laut di sana masih berwarna biru.
BACA Juga: Komisi XII DPR RI: Tutup Tambang Nikel di Raja Ampat jika Terbukti Melanggar!
Selain itu, Bupati Raja Ampat Oriedeko Burdam juga mengatakan sebagian besar masyarakat di Pulau Gag menolak perusahaan eksplorasi nikel ditutup. Alasannya, mereka mengandalkan aktivitas pertambangan itu sebagai mata pencaharian.
Orideko juga menyebut tidak ada pencemaran lingkungan di laut sekitar lokasi tambang, berdasarkan hasil kunjungan Menteri ESDM Bahlil ke Pulau Gag.
Pernyataan tersebut dianggap sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan tambang, menurut perwakilan Koalisi Selamatkan Manusia dan Alam Domberai, Ayub Paa.
“Pernyataan para pejabat itu merupakan pernyataan subjektif dan tidak dapat dibenarkan, terutama untuk menilai perusahaan pertambangan melakukan pelanggaran atau tidak,” kata Ayub melalui keterangan tertulis.
Terancam Tinggal Kenangan

Aktivitas tambang nikel di kawasan Raja Ampat membuat masyarakat resah. Perusahaan tambang di Raja Ampat dikhawatirkan akan merusak keindahan alamnya.
Raja Ampat sendiri memiliki sebutan The Last Paradise on Earth atau surga terakhir di muka bumi. Bukan tanpa alasan Raja Ampat mendapat julukan itu. Raja Ampat adalah destinasi impian bagi dunia pariwisata. Tak heran jika kasawan ini selain dikagumi wisatawan domestik, juga menjadi incaran wisatawan asing.
Tak hanya itu, para ilmuwan dan pegiat konservasi juga mengagumi Raja Ampat, yang disebut sebagai jantung dari segitiga terumbu karang dunia, pusat biodiversitas laut dan darat yang luar biasa.
Sedangkan bagi masyarakat Papua sendiri, Raja Ampat adalah tanah kehidupan, tempat leluhur, mata pencaharian, dan harmoni alam berpadu.
Ada 75 persen spesies karang dunia dan lebih dari 2.500 spesies ikan di Raja Ampat, yang oleh UNESCO diakui sebagai global geopark. Di daratannya, hidup 47 spesies mamalia dan 274 jenis burung, sehingga menjadikannya salah satu ekosistem paling lengkap dan kaya di dunia.
Tapi sayangnya, kini keindahan Raja Ampat terancam tinggal kenangan. Kegiatan tambang nikel di lima pulau kecil, termasuk Gag, Kawe, Manuran, Manyaifun, dan Batang Pele disebut melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang pertambangan di pulau kecil dengan ekosistem sensitif.
Greenpeace Indonesia mengklaim lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alam telah dibabat. Lumpur tambang mencemari laut, memicu sedimentasi, serta mengancam ekosistem koral.
“Nikel digadang-gadang sebagai solusi energi bersih, tapi ironisnya menciptakan kehancuran di berbagai tempat. Kini alam Raja Ampat juga dibabat, tanahnya dikeruk, lautnya dirusak. Oleh karenanya kita perlu bersuara, menyuarakan mereka yang tak didengar. Di masa seperti ini, tak ada yang lebih kuat dari kebenaran yang disuarakan,” tegas Iqbal Damanik, sebagaimana dikutip sukabumiNews dari VOI.id, Selasa (10/6).
BACA Juga: Dede Farhan Aulawi Menilai Perlu Harmonisasi Tata Kelola Sektor Pertambangan
Ikuti dan dapatkan juga update berita pilihan dari sukabumiNews setiap hari di Channel WahatsApp, Telegram dan GoogleNews.
COPYRIGHT © SUKABUMINEWS 2025