Serangan Teroris yang Mengejutkan di Balai Kota Crocus
Pemberitaan berbagai media terkait dengan peristiwa serangan teroris di Balai Kota Crocus terhadap para penonton konser musik yang terletak di pinggiran Krasnogorsk, Moskow pada Jum’at (23/3) lalu membuat banyak masyarakat kaget, geram dan marah.
Perilaku yang menginjak nalar sehat kemanusiaan dengan serangan teror tersebut telah memakan korban lebih dari 130 jiwa yang tidak bersalah. Masyarakat dan Pemerintah Indonesia yang cinta damai tentu akan mengutuk keras peristiwa biadab tersebut.
Permasalahannya ada siapa otak di balik peristiwa itu. Karena aktor lapangan memang sudah tertangkap, tetapi siapa yang membuat desain terornya menjadi tantangan yang harus terungkap .
Peristiwa seperti ini pasti tidak didesain dalam beberapa hari, pasti ada perencanaan panjang untuk mengatur berbagai skenarionya. Mulai penentuan event, tempat, waktu, orang, senjata, pembiayaan, transportasi, akomodasi, pembagian peran/ tugas, jalur pelarian, dan konstruksi pesan yang akan dibangun atas peristiwa tersebut.
Termasuk ditemukannya senapan serbu Kalashnikov yang tergeletak di lantai sebenarnya bisa dibaca sebagai sebuah ‘pesan sandi’ untuk dipecahkan.
Dari satu sisi upaya penegakan hukum pasti akan membutuhkan fakta-fakta hukum sebagai alat bukti yang bisa disampaikan di persidangan. Itulah sebabnya ada disiplin ilmu yang disebut dengan Scientific Crime Investigation atau investigasi kejahatan secara ilmiah.
Namun dalam setiap operasi intelijen, pembuktian tersebut menjadi sangat sulit karena kematangan perencanaan yang dibuat. Termasuk kemungkinan adanya ‘brainwashing’ bagi pelaku lapangan, juga sistem sel terputus yang dijalankan, sehingga operator lapangan pasti juga tidak mengenal siapa yang menyuruh atau membayarnya. Meskipun sebenarnya bisa dilacak dari aliran dana (finacial tracing) sesuai pengakuan orang yang tertangkap.
Empat orang terdakwa dalam serangan tersebut, yaitu Dalerdzhon Mirzoyev, Saidakrami Muodali Rachabalizoda, Shamsidin Fariduni, dan Muhammadsobir Fayzov sudah tertangkap selang beberapa jam setelah peristiwa serangan dan pembakaran tempat konser.
Kemudian 7 orang berikutnya juga sudah ditangkap yang diduga turut terlibat atau terkait dengan peristiwa tersebut. Jumlah ini mungkin saja akan terus bertambah sejalan dengan upaya pengembangan penyelidikian dan interogasi yang dilakukan. Siapapun ‘dalang’ dari peristiwa ini pasti akan gelisah karena khawatir identitasnya terungkap, sehingga pasti akan ada upaya-upaya untuk melenyapkannya sebagai satu-satunya jalan menghilangkan jejak.
Oleh karena itu, pengamanan terhadap para terdakwa dan tersangka harus ekstra ketat guna menghindari kemungkinan terjadinya upaya pembunuhan.
Dalam kasus seperti ini, sebenarnya polisi atau pasukan Rusia bisa melakukan dua strategi pendekatan;
Pertama, interogasi masif dengan upaya-upaya penekanan mental (mental stressing) agar mereka mau memberikan informasi penting atas peristiwa tersebut.
Kedua, dengan pendekatan lunak (soft approaching), mulai dari Document Analysis, Interface Analysis, In depth Interviews, Specific Observation, atau Prototyping.
Pendekatannya bisa menggunakan fungsional dan non fungsional, baik yang bersifat kolaboratif, riset khusus, maupun eksperimen berlanjut. Hal menarik setelah peristiwa ini terjadi, sebenarnya sudah masuk tahap dua yaitu penggiringan opini publik terhadap siapa yang harus bertanggung jawab.
Teknik ini dilakukan sebagai upaya untuk menjauhkan prasangka dan kecurigaan dunia, teknik cuci piring alias lepas tangan, mata rantai terputus, dan titik akhir bayangan peristiwa. Metode ini lazim digunakan dalam berbagai peristiwa teror dunia yang melibatkan aktor negara atau ‘orang penting’.